Demikian disampaikan oleh Asisten Deputi Kementerian Lingkungan Hidup, Inar Ichsana Ishak, dalam sebuah acara dengan jajaran Pemda di Palangkaraya, pada Selasa (24/7).
Namun demikian ia mengingatkan bahwa penegakan hukum administrasi tidak seperti pidana. Menurutnya, hukum administrasi ini dapat direkayasa. Untuk itu sebelum terjadi pencemaran harus direncanakan dulu apa saja yang harus dikerjakan atau diawasi.
"Kita sudah harus merencanakan apa saja yang harus diawasi sebelum terjadi pencemaran. Dengan demikian, jika terjadi kasus pencemaran, pelakunya dapat langsung ditindak," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa penegakkan hukum administrasi menjadi lebih penting daripada penegakan hukum pidana dalam kasus pencemaran lingkungan. Ada perbedaan mendasar antara hukum administrasi dan pidana.
Kalau hukum administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau ketika sudah ada indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum pidana yang hanya boleh diterapkan setelah ada kejadian.
Di samping itu, dalam penegakan hukum administrasi juga masih bisa dilakukan tawar-menawar, serta langkah penyelesaiannya juga bermacam-macam, yang tidak ditemukan dalam hukum pidana.
Artinya, jika pelaku tindak pencemaran lingkungan mendapat sanksi administrasi, misalnya denda atau pembekuan sementara dari suatu usaha, yang bersangkutan masih dapat melakukan perbaikan terhadap lingkungan yang rusak akibat perbuatannya.
"Nah, ketika hukum administrasi ternyata tidak berjalan dengan baik dan efektif, maka dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai jalan terakhir," tegasnya.
Ia memberi satu contoh. Apabila seseorang yang dipidana penjara selama 10 tahun karena melakukan pencemaran lingkungan, maka dari sisi lingkungan hidup tidak menjadi hal penting. Hal itu karena kerusakan lingkungan telah terjadi dan tidak mungkin berubah dengan putusan pidana yang diberikan.
Oleh karena itu, pejabat pemerintah di daerah sudah harus mulai bergerak untuk menyusun perencanaan dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Misalnya, saat kemarau ini biasanya akan terjadi kebakaran hutan. Jadi perencanaan itu harus sudah dimulai yakni apa saja yang bisa dilakukan pemerintah, stakeholder terkait, masyarakat, dan perusahaan.
"Dengan demikian kasus kebakaran hutan dan lahan itu tidak akan terjadi. Apabila masih ada perusahaan atau masyarakat yang melakukan pembakaran, maka tindakan sanksi pidana dapat diterapkan," katanya.
Menurut Ishak, para pejabat pemerintah harus dapat mengawasi dan memantau agar tidak terjadi kebakaran di perkebunan. Caranya adalah memeriksa perusahaan perkebunan dengan menyiapkan para pejabat pengawas.
Lebih lanjut Ishak menjelaskan bahwa upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketat dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
"Pemerintah saat ini juga masih menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berpotensi menjerat pejabat publik yang melakukan kesalahan dan dianggap bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan hidup," tambahnya.
Pejabat publik yang dimaksud adalah pejabat daerah dan pusat yang melakukan kesalahan antara lain dalam hal penerbitan surat izin operasional, pembuatan persyaratan perizinan, dan ketidakpatuhan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dalam RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru ini menurutnya, akan memasukkan pasal yang mengatur pelanggaran oleh pejabat publik. Ini merupakan langkah maju karena UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang ada sekarang ini belum mengatur hal tersebut.
Sementara itu, UU Lingkungan Hidup yang berlaku saat ini belum mengatur pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik. Yang ada hanya memungkinkan untuk menindak pimpinan perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan. (Setyo Rahardjo).
Sumber: www.beritabumi.or.id