Rekam jejak...

Biografi singkat

DWI WIJAYANTO RIO SAMBODO, SE., MM, akrab disapa Rio, adalah putra kedua dari 3 putera pasangan Harlyanto Klasri dan RA Rustiyati. Dilahirkan di Jakarta 29 Juni 1975, dibesarkan di Ibukota, telah membentuk wataknya sebagai Anak Jakarta. Ayahnya adalah pensiunan Departemen Kesehatan, dilahirkan di tanah Kutuarjo, Jawa Tengah. Sedangkan Ibunya bergelut di bidang Pendidikan Anak yaitu Kepala Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Trisula, terakhir menjabat sebagai Kepala Sekolah TK Mutiara Indah yang didirikannya sejak tahun 1983, dilahirkan di tanah Yogyakarta.

JEJAK KEPEMIMPINAN & BAKAT PERJUANGANNYA, dimulai sejak masa kecil, tepatnya saat menjadi Ketua Kelompok Regu Pramuka SD Perguruan Rakyat III pada tahun 1985 dan berlanjut sebagai kordinator dalam berbagai aktivitas hobi bersama kawan-kawannya, seperti sebagai Ketua Persatuan Sepakbola tempat sekolahnya, dan anggota Sekolah Sepakbola PERSIJA JAKARTA tahun 1988.

DUNIA PERGERAKAN POLITIK, dimasukinya saat duduk di bangku kuliah Tahun 1994, dengan ikut dalam perkumpulan serta forum diskusi kecil di kampus dan berlanjut beberapa tahun kemudian menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang memiliki kegiatan diskusi, advokasi dan aksi untuk mengkritisi beragam kebijakan pemerintahan yang menindas rakyat.

KEAKTIFANNYA dalam melawan pemerintahan yang menindas rakyat semakin menjadi-jadi pada saat peristiwa 27 Juli 1996. Kemudian berlanjut saat krisis ekonomi 1997 yang berdampak suhu politik memanas dalam Gerakan Mahasiswa menjelang 1998.
MESKIPUN sejak tahun 1996 sudah aktif berjuang bersama kader-kader PDI Pro Mega, tetapi karena aktivitas pergerakan mahasiswanya, maka baru tahun 2001-2002, Rio fokus aktif di PDI Perjuangan, khususnya usai mengikuti Kongres XIV GMNI di Manado. Pengalamannya berorganisasi saat mahasiswa dalam melakukan pendampingan terhadap warga yang tertindas, membuat Rio tak mengalami hambatan untuk aktif di Partai.

SETELAH 12 TAHUN lebih berjuang bersama-sama kader partai maupun aktivis pergerakan, akhirnya Rio mendapatkan kepercayaan dari Partai menjadi Calon Anggota Legislatif DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi DKI Jakarta, Nomor Urut 5 (lima) di daerah pemilihan Jakarta Timur dalam Pemilihan Legislatif (PEMILU) 2009.

”Dengan dukungan dari segenap warga Jakarta Timur dan dukungan dari berbagai elemen seperti, aktivis, kader partai, tokoh, artis, pengamat, Lurah, Ketua RW, keluarga, sobat, dan warga DKI Jakarta pada umumnya, Menurut saya ini adalah modal awal melakukan perubahan di Jakarta kearah yang lebih baik”.

Wednesday, September 24, 2008

Organisasi-organisasi perempuan di Indonesia sesudah 1950

Oleh Saskia Wieringa

Pendahuluan
Saya mulai tertarik pada masalah organisasi-organisasi perempuan Indonesia sejak saya melakukan penelitian lapangan di kalangan perempuan-perempuan buruh batik di Jawa Tengah, tepatnya di dalam dan sekitar kota Solo (yang juga dikenal sebagai Surakarta) pada tahun 1977/1978.1) Saya terutama merasa prihatin melihat kondisi kerja mereka, dan timbullah keinginan untuk mendapatkan hubungan dengan kelompok kaum perempuan yang bisa saya ajak bekerja-sama dalam usaha meringankan beban para buruh itu. Sesudah bertanya tanya kesana kemari, ternyata ada banyak organisasi kaum perempuan di Indonesia. Justru begitu banyaknya sehingga rasanya tidak seorang pun yang bisa menerangkan kepada saya apa saja perbedaan di antara berbagai macam organisasi itu; apa tujuan masing-masing organisasi; dan mana di antaranya yang kira-kira berminat pada penelitian saya. Selama satu tahun itu saya mengikuti rapat-rapat dan kegiatan-kegiatan mereka sebanyak-banyaknya, berbicara dengan banyak pemimpin dan anggota biasa dari berbagai macam organisasi tersebut. Namun saya tidak berhasil menemukan satu organisasi atau kelompok yang bisa saya ajak membicarakan apa yang saya temukan.

Akan tetapi saya kemudian tahu bahwa sebelum 1965 masalah buruh, baik buruh perkebunan, pabrik, dan daerah-daerah luar kota, menjadi perhatian utama organisasi perernpuan yang paling besar dan paling berpengaruh pada saat itu, GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). Saya jadi semakin tergoda oleh pertanyaan bagaimana mungkin dalam suatu periode ketika di sebagian besar negeri di dunia ini gerakan perempuan sedang berkembang, di Indonesia keadaannya begitu terbalik? Mengapa pula organisasi-organisasi perempuan Indonesia di arena internasional ditempatkan di tengah-tengah kelompok-kelompok yang paling reaksioner? Inilah alasannya mengapa di Indonesia organisasi-organisasi perempuan itu terkadang disebut “kuntilanak wangi.” Tetapi, setidak tidaknya sejak awal abad ini, Indonesia mempunyai sejarah yang kaya dengan perjuangan kaum perempuan. Pada 1950-1965 setidak-tidaknya ada satu organisasi perempuan sosialis yang kuat, yang membela ide-ide feminisme, dan berada sebarisan dengan organisasi-organisasi perempuan yang progresif.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi landasan bagi kegiatan penelitian saya yang sekarang, yang saya lakukan sebagai salah seorang anggota regu yang bekerja dalam rangka proyek penelitian tentang Gerakan dan Organisasi Perempuan dari Program Perempuan dan Pembangunan pada Institute of Social Studies. Penelitian ini dilakukan di enam negeri atau kawasan, yaitu Peru, Karibia, Sudan, Somalia, India, dan Indonesia, dengan salah satu di antara fokusnya adalah pemerkuatan gerakan perempuan di negeri atau kawasan tersebut.2) Sebagai koordinator proyek penelitian ini, saya merasa senang telah dihadapkan pada banyak informasi tentang pertumbuhan gerakan perempuan di berbagai negeri, yang semakin menunjukkan betapa tepatnya pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di samping itu, saya juga melakukan penelitian lapangan mengenai masalah-masalah tersebut di Jawa dan di Sumatra.

Naskah ini merupakan versi perbaikan atas makalah yang pernah saya tulis pada tahun 1982. Di dalamnya belum terliput banyak kesimpulan dari penelitian yang saya lakukan sekarang dan karenanya masih bersifat deskriptif. Sedang analisis mengenai data yang dihasilkan penelitian ini masih dalam persiapan. Meskipun demikian naskah ini memanfaatkan sebanyak-banyaknya wawasan-wawasan yang diperoleh selama penelitian dilakukan.

Saya hendak memulai dengan sejarah ringkas Indonesia sebagai pengantar untuk sejarah gerakan perempuan Indonesia. Gerakan ini sendiri saya telusuri dari mulai abad ke-20, masa pendudukan Jepang, masa perjuangan kemerdekaan nasional dan pemerintahan Presiden Sukarno, sampai masa pemerintahan “Orde Baru” sejak pengambil-alihan kekuasaan oleh militer tahun 1965. Dalam naskah ini akan disinggung sekilas masalah-masalah seperti hubungan antara kebebasan kaum perempuan dengan kemerdekaan nasional, peranan negara dan golongan kiri, serta pembangunan peribuan secara sosial dan politik.

Sejarah Kolonial

Sejak awal abad ke-16 kaum pedagang Portugis dan Spanyol datang ke kepulauan Nusantara dalam rangka usaha mereka mendapatkan bagian dari perdagangan rempah-rempah di Laut Tengah, yang berasal dari kepulauan Maluku yang sangat menguntungkam itu. Sebelumnya, cengkeh dan pala bisa sampai di pasaran Eropa melalui kaum pedagang India, Arab, dan Venesia. Berbeda dengan kaum pedagang Spanyol dan Portugis, pedagang.Belanda yang tiba pada abad ke-17 dan sesudahnya, tidak menyesuaikan diri dengan pola perdagangan yang telah lama berjalan, tetapi berusaha untuk memonopoli seluruhnya. Untuk mencapai tujuannya, kaum pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC, Persekutuan Dagang India Timur) pada tahun 1602. Dalam usahanya yang tak kenal belas kasihan demi laba yang sebesar-besarnya, VOC menaklukkan kepulauan Maluku dan membangun pelabuhan-pelabuhan dagang di pulau-pulau Nusantara lainnya. Selama abad ke-18 fokus perdagangan beralih dari rempah-rempah ke gula dan kopi, yang diperoleh dengan jalan perampasan, terutama di Pulau Jawa. Dengan jalan politik “adu domba” (divide et impera), Belanda mengambil manfaat dari sengketa-sengketa di antara para penguasa setempat, untuk memperluas daerah kekuasaannya. Di seluruh Nusantara timbul gerakan perlawanan, namun berkat keunggulan persenjataan Belanda berhasil menumpasnya.

Pada akhir abad ke-18 (bersamaan dengan berakhirnya riwayat VOC), hanya bagian-bagian tertentu Pulau Jawa dan beberapa pulau kecil yang berada di bawah kekuasaan Belanda. Selama masa sela kekuasaan Pemerintahan Inggris (1811-1816) perampasan dihapuskan, dan diberlakukan sistem pajak tanah. Sepeninggal Inggris, Belanda semakin luas kekuasaannya, terutama di Jawa sesudah keluar sebagai pemenang dalam Perang Jawa (1825-1830). Pada tahun 1830 diberlakukan “sistem tanam paksa.” Hak turun temurun kaum bangsawan, yaitu mendapatkan sebagian hasil penanaman kopi dan gula secara paksa, dikukuhkan kembali. Merekalah yang harus memberikan jaminan bahwa petani akan menyerahkan hasil panennya dari luas areal yang telah ditetapkan (resminya seperlima dari seluruh luas tanah garapan di setiap desa). Sistem ini berakibat terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap kaum tani di Jawa, dan pada awal dasa-warsa 1860-an terjadilah bahaya kelaparan yang hebat. Sesudah 1860 iklim politik di Negeri Belanda berubah ke arah liberalisme. Masuknya modal swasta asing ke Hindia Belanda diberi jaminan, dan berangsur-angsur sistem perkebunan swasta mendesak “sistem tanam paksa.” Industri Belanda yang dibangun dengan pendapatan “sistem tanam paksa,” sekarang mencari pasar baru. Daya beli kaum tani di Jawa yang rendah menjadi sebab kemasygulan mereka. Maka dianjurkanlah apa yang dinamakan “Politik Etis,” rakyat jajahan harus “dimajukan.” Pendidikan dipandang sebagai sarana penting untuk mencapai tujuan itu. Terdorong oleh persaingan mencari pasar di antara kekuatan-kekuatan industri di Eropa yang sedang tumbuh itu, maka usaha membangun Imperium Kolonial menjadi sangat penting. Negeri Belanda melebarkan sayap kekuasaannya ke seluruh wilayah yang kemudian disebut Indonesia itu. Kaum birokrat diperlukan untuk mengendalikan imperium itu, dan sekelompok pegawai pribumi yang berpendidikan Barat diberi tempat di sana. Elite Indonesia berpendidikan Barat inilah yang kemudian menjadi tulang-punggung bagi gerakan nasional, yang lahir pada permulaan abad ke-20.3) Tahun 1908 dibentuklah organisasi pertama berhaluan kebangsaan: Boedi Oetomo.

Awal Gerakan Perempuan: R.A. Kartini

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di berbagai penjuru Indonesia kita jumpai banyak tokoh terkemuka perempuan, yang tampil demi hak rakyat mereka masing-masing. Sejauh yang kita ketahui, perhatian pokok mereka adalah perjuangan bersenjata melawan Belanda yang sedang dilakukan oleh suami mereka. Cut Nyak Dien dan Cut Meutia adalah tokoh wanita di Aceh. Di Jawa, Roro Gusik membantu suaminya, Untung Surapati, mengangkat senjata; di Maluku, Martha Tiahahu membantu Pattimura memberontak; dan di Sulawesi Selatan, Emmy Saelan giat dalam perlawanan Wolter Monginsidi.4)

RA. Kartini umumnya disebut-sebut sebagai salah seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka perempuan feminis dari zamannya, dan ia memang tokoh feminis dari masa awal yang paling terkenal. Kartini (1879-1904) adalah anak kedua (perempuan) dari Bupati Jepara, sebuah daerah di pantai utara Jawa. Ayahnya seorang yang berpikiran maju, karenanya mengizinkan anak-anak perempuannya mengikuti pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan abang-abang rnereka. Suatu hal yang luar biasa untuk zaman itu. Walaupun Kartini sangat ingin meneruskan sekolahnya sesudah memasuki masa remajanya, seperti halnya abang-abangnya, yang salah seorang di antaranya bahkan belajar di Universitas Leiden, Negeri Belanda, ia justru dimasukkan ke pingitan “kurungan emas,” demikian ia menyebut istana ayahnya di dalam salah satu suratnya. Begitulah adat-istiadat bagi gadis-gadis bangsawan zaman itu. Di dalam pingitan itu, sambil menunggu saat dikawinkan dengan laki-laki yang mungkin belum pernah dilihatnya sebelumnya, Kartini memulai surat-menyuratnya yang luar biasa dengan beberapa tokoh, termasuk seorang feminis Belanda, Stella Zeehandelaar. Di dalam surat-suratnya ini5) yang sering merupakan luapan amarah terhadap segala keadaan yang mengungkung kebebasan geraknya, dan yang menghalangi dirinya dari perjuangan sepenuhnya untuk kepentingan dan emansipasi rakyat Jawa pada umumnya, dan perempuan Jawa pada khususnya, ia merumuskan gagasan-gagasannya, yang unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut:

ia memandang pendidikan bagi kaum perempuan sebagai salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya, oleh karena ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anak lebih baik;

tidak hanya perempuan kalangan miskin, perempuan kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah sendiri, dan mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka, misalnya menjadi perawat, bidan, dan guru;

poligini harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum perempuan.

Ibunya adalah salah seorang di antara istri-istri Bupati Jepara, ayahnya. Kartini sering berbicara tentang penghinaan terhadap kaum perempuan yang harus mengalami perkawinan permaduan (poligini). la terutama sangat benci terhadap pikiran bahwa dirinya sendiri pun bisa diberikan kepada seorang laki-laki dalam perkawinan permaduan seperti itu.6)

Sesudah berhasil mengatasi berbagai kesulitan yang besar, akhirnya ia berhasil membuka sekolah yang pertama untuk gadis-gadis pribumi, di pekarangan rumah orangtuanya.

Tahun 1903 ia menikah dengan Bupati Rembang, yang sudah mempunyai sekian istri selir dan sekian banyak anak. Kartini menjadi “istri perdana” resmi, karena kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan semua istri lainnya. Pasti Kartini banyak berkorban karena menerima perkawinan itu, tetapi edisi pertama surat-suratnya hampir tidak sepatah kata pun mengungkap penderitaan batinnya. Baru belakangan ini suratmenyuratnya yang lengkap dengan sepasang suami-istri Belanda yang sangat akrab dengannya, Tuan dan Nyonya Abendanon, diterbitkan. Di dalam surat-surat “tambahannya” itu Kartini menulis tentang keputusasaannya, karena harus menikah dengan seorang laki-laki yang sudah mempunyai beberapa istri.7) Cukup aneh bahwa seluruh perkawinan permaduan Kartini ini hampir disepelekan baik oleh para penulis biografi masa lalunya maupun oleh sebagian besar pengikutnya, di masa sekarang ini. 8) Hal ini semakin lebih mengherankan karena masalah permaduan dalam pandangan banyak perempuan Indonesia sekarang masih belum terselesaikan secara baik. Betapapun tradisionalnya Bupati Rembang itu dalam pandangannya tentang perkawinan, dalam hal-hal lain ia orang yang berpikiran cukup maju. la menyokong cita-cita Kartini, dan mengizinkannya melanjutkan sekolah di Rembang. Agaknya Kartini sendiri mau menerima keadaan yang dihadapinya. Perkawinannya tidak berlangsung lama. Tahun 1904 Kartini meninggal pada umur dua puluh lima, pada saat melahirkan.

Kartini bukanlah satu-satunya perempuan yang berjuang untuk pendidikan kaum perempuan pada zamannya. Beberapa butir dari cita-cita perempuan yang dinamis, dan dalam banyak hal juga berjiwa pemberontak ini, diikuti oleh tokoh-tokoh perempuan lainnya, terutama cita-citanya tentang pendidikan bagi kaum perempuan. Di Jawa Barat, Dewi Sartika menyebarkan pandangan yang sama, dan di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula. Meskipun demikian Kartini yang menjadi simbol gerakan perempuan Indonesia. Hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh organisasi-organisasi perempuan dewasa ini. Adanya kaum perempuan di sekolah-sekolah, universitas-universitas, atau angkatan bersenjata, biasanya disebut-sebut sebagai bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh perempuan Indonesia; dan diadakan pula lomba untuk mencari siapa di antara para peserta yang berwajah paling mirip dengan Kartini, tentu saja mirip secara lahiriah, bukannya dalam jiwa pemberontakan dan kemerdekaannya. Dalam tahun 1969 Kartini bahkan dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional.”9)

Dalam biografi singkat R.A. Kartini ini terkandung sebagian besar unsur gerakan perempuan Indonesia pada masa sebelum perang. Keanggotaan gerakan berasal dari kalangan atas. Perjuangan untuk pendidikan kaum perempuan dan reformasi perkawinan merupakan masalah pokok. Seperti halnya dengan organisasi-organisasi perempuan umumnya ketika itu, baik di Eropa maupun di kebanyakan negeri Dunia Ketiga,10) persoalan yang menjadi perhatian perempuan Indonesia adalah yang lebih berkaitan langsung dengan perempuan kelas atas.

Organisasi Perempuan dan Perjuangan Nasional

Unsur lain gerakan perempuan Indonesia yang sedang tumbuh ialah hasrat untuk “emansipasi nasional.” Organisasi perempuan yang pertama, Poetri Mardika didirikan tahun 1912. Organisasi ini ada hubungannya dengan organisasi nasional yang pertama yang telah disebutkan, Boedi Oetomo, yang didirikan tahun 1908. Namun sebelum organisasi nasional ini berdiri, Kartini sudah sering mendengungkan gagasan-gagasan nasionalisnya. Dalam tahun-tahun berikutnya sesudah Poetri Mardika berdiri, bak jamur di musim hujan berkembang-biak organisasi perempuan. Majalah-majalah perempuan terbit di mana-mana, dengan tulisan-tulisan misalnya mengenai kejamnya perkawinan anak-anak dan permaduan, dan bermunculan perkumpulan-perkumpulan perempuan dengan nama-nama “Putri Sejati” dan “Wanita Utama.”11)

Sesudah tahun 1920, dalam skala lebih luas kaum perempuan mulai mengorganisasikan diri menurut garis agama. Aisyah, seksi perempuan dalam gerakan pembaharuan Islam Muhammadiyah terbentuk pada tahun 1917. Belakangan juga didirikan organisasiorganisasi perempuan Katolik dan Protestan. Demikian pula di luar Jawa bermunculan organisasi-organisasi serupa: kaum perempuan di Maluku, Minahasa, dan Minangkabau, misalnya, mengorganisasikan diri.

Walaupun masing-masing organisasi yang bersifat kedaerahan dan keagamaan ini mempunyai masalah dan kegiatan sendiri-sendiri, juga ada beberapa kesamaan kepentingan yang didukung kebanyakan organisasi. Peranan seorang istri dan ibu “yang baik” sangat diutamakan, dan agar bisa mengemban tugasnya dengan baik kaum perempuan dianjurkan untuk memperoleh pendidikan yang baik, dan mempelajari keterampilan yang sangat diperlukan seperti menjahit pakaian dan mengasuh anak. Akan tetapi organisasi-organisasi perempuan Kristen dan “non-agama” di satu pihak, dan organisasi-organisasi perempuan Islam di pihak lain, dipisahkan sangat dalam dan menentukan oleh masalah sentral: poligini. Organisasi perempuan Kristen dan non-agama memandang poligini sebagai penghinaan terhadap kaum perempuan yang tidak bisa dimaafkan, dan justru karena itulah mereka aktif berjuang melawannya, sementara organisasi-organisasi perempuan Islam hanya rnenginginkan perbaikan kondisi di dalam poligini, bukan menghapuskan lembaga poligini itu sendiri.12)

Dalam banyak hal sejarah gerakan perempuan Indonesia itu tidak terlepas dari gerakan nasional. Setiap partai atau organisasi nasional berusaha membangun sayap perempuanya sendiri, baik organisasi yang berhaluan nasionalis, Islam, maupun kiri. Sepanjang yang kita ketahui, tanda-tanda pertama adanya perhatian sistematis kaum perempuan yang kebanyakan kelas menengah itu pada kesulitan yang dihadapi oleh kaum perempuan buruh itu terdapat dalam kalangan perempuan yang aktif dalam Sarekat Rakyat.13) Dalam dasa-warsa 1930-an mereka mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi politik buruh perempuan, menuntut peningkatan upah, den lain-lain. Salah satu di antara aksi-aksinya yang pertama dan paling penting adalah demonstrasi mereka pada tahun 1926 di Semarang, ketika mereka berdemonstrasi dengan mengenakan “caping kropak” atau topi bambu menuntut pebaikan kondisi kerja buruh perempuan.

Ketika terjadi pemberontakan komunis tahun 1926 banyak perempuan ditahan, bukan sekadar karena membantu suami, tetapi juga disebabkan kegiatan mereka sendiri. Bersama dengan kaum laki-laki, mereka dibuang ke Boven Digul, sebuah kamp konsentrasi Belanda yang terletak di Irian Jaya sekarang. Di antara para perempuan ini ialah Sukaesih dari Jawa Barat dan Munasiah dari Jawa Tengah.

Pada periode pertama gerakan perempuan Indonesia, berbagai macam organisasi yang didirikan itu semuanya hanya bergerak pada tingkat daerah. Kegiatan mereka belum terorganisasi secara nasional. Perhatian pokok mereka sejalan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi-organisasi perempuan di negeri-negeri lain ketika itu, misalnya pendidikan kaum perempuan. Di samping masalah tersebut, organisasi perempuan Indonesia juga memberikan perhatian pada masalah-masalah “kemasyarakatan” seperti pelacuran, permaduan, perkawinan anak-anak, serta perdagangan perempuan den anak-anak. Perlu diperhatikan bahwa soal-soal seperti sekarang hampir tidak memperoleh tempat di dalam kegiatan organisasi-organisasi perempuan Indonesia. Sepak-terjang dan semangat para perempuan perintis ini mendapat saluran pengucapannya yang penting melalui berbagai majalah yang mereka terbitkan. Dengan jalan demikian mereka berusaha menyadarkan masyarakat, dalam jangkauan terbatas kepada lapisan atas, tentang masalah-masalah yang dipandang sangat penting bagi kaum perempuan Indonesia.14)

Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1928.15) Hampir tiga puluh organisasi perempuan hadir pada kongres ini. Mosi mengenai reformasi perkawinan dan pendidikan diterima. Tetapi, lagi-lagi ketegangan timbul antara organisasi-organisasi perempuan Islam yang menentang koedukasi [lelaki den perempuan bersekolah bersama-sama, dalam satu kelas] dan penghapusan poligini dengan organisasi-organisasi perempuan nasional dan Kristen. Dibentuk Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang merupakan federasi organisasi-organisasi perempuan Indonesia. Pada tahun berikutnya nama federasi ini diubah menjadi Perikatan Perhimpoenan Istri Indonesia (PPII). PPII menerbitkan majalah sendiri, sangat giat di bidang pendidikan, den membentuk panitia penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak. Satu-satunya organisasi perempuan yang tidak hadir pada sidang-sidang nasional organisasi-organisasi perempuan yang tergabung dalam PPII ialah Isteri Sedar, yang didirikan tahun 1930. Isteri Sedar adalah organisasi perempuan yang paling radikal pada zaman itu. Organisasi ini tidak mau berkompromi mengenai masalah-masalah poligini dan perceraian,16) yang menimbulkan perbedaan mendalam di antara organisasi-organisasi perempuan Islam den lain-lainnya.

Kongres Perempuan nasional berikutnya diadakan di Jakarta (1935), Bandung (1938), dan Semarang (1941), dalam mana perjuangan nasional berangsung-angsur semakin menonjol. Dalam kongres 1935 terbentuklah Kongres Perempuan Indonesia (KPI), dan dengan demikian PPII dibubarkan. Perhatian tertentu ditujukan kepada kaum perempuan dan golongan miskin, tetapi keanggotaan masih berasal dari lapisan atas, dan tuntutan yang disuarakan pun sebagian besar masih diarahkan pada kepentingan kaum perempuan golongan atas.

Walaupun sejak 1930 gerakan nasional berkembang pesat, dan terlihat pula tanda-tanda tumbuhnya nasionalisme di dalam gerakan perempuan, namun sampai awal pendudukan Jepang tahun 1942, selain kaum perempuan Serikat Rakyat, Isteri Sedar adalah satu-satunya organisasi yang secara terbuka dan sistematis mengecam politik pemerintah kolonial Belanda, dan memberi perhatian pada perjuangan anti-kapitalisme. Misalnya, pada kongresnya tahun 1932, dalam mana Sukarno yang di kemudian hari menjadi presiden mengucapkan pidatonya yang berjudul “Gerakan Politik dan Emansipasi Wanita,” Isteri Sedar menyatakan bahwa perempuan Indonesia harus memainkan peranan aktif di bidang politik oleh karena “hanya Indonesia yang merdeka oleh usaha besar-besaran kaum laki-laki dan wanita yang bersatu padu yang akan sanggup memberikan persamaan hak dan tindakan kepada rakyat Indonesia.” Isteri Sedar juga menyatakan bahwa nasib kaum perempuan proletar harus diperbaiki.17)

Dalam rangka menyelesaikan masalah reformasi perkawinan yang pelik itu pada tahun 1939 dibentuk sebuah badan yang bertugas meneliti hak-hak wanita dalam perkawinan, baik menurut adat, hukum Islam (fiqh), maupun hukum Eropa. Namun sebelum badan ini berhasil membuahkan sesuatu dalam rangka pembuatan kompromi antara golongan Islam dan bukan Islam, pada 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang.

Semasa pendudukan Jepang semua organisasi perempuan Indonesia dilarang. Hanya satu organisasi perempuan di bawah kekuasaan Jepang yang diizinkan hidup, yaitu Fujinkai. Kegiatan organisasi ini adalah di bidang pemberantasan buta huruf dan berbagai pekerjaan sosial.1 8) Mereka yang giat di dalam Fujinkai ini terutama adalah para istri pegawai negeri. Seperti halnya organisasi-organisasi perempuan sekarang, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi, Fujinkai melakukan kegiatan dalam hirarki yang sejalan dengan hirarki suami. Di kalangan kaum perempuan, para anggota Fujinkai harus mempropagandakan cita-cita Jepang tentang “Asia Raya” di bawah pimpinan Dai Nippon. Fujinkai adalah salah satu di antara organ-organ yang digunakan Jepang untuk mengerahkan rakyat Indonesia bekerja “suka-rela” demi kemenangan “perang suci” mereka. Gerakan nasional, termasuk beberapa organisasi perempuan, antara lain Gerakan Wanita Sosialis (GWS), sebagian bergerak di bawah tanah. Banyak kaum nasionalis, termasuk yang perempuan, ditangkap dan dibunuh.

Sesudah Jepang kalah, dan proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda berusaha merebut kembali kepulauan Indonesia. Perang kemerdekaan yang sengit terjadi, yang berkesudahan dengan kekalahan Belanda pada tahun 1949.

Seperti dalam kebanyakan perjuangan kemerdekaan nasional, para laki-laki pemimpin nasional giat mencari dukungan dari kalangan perempuan. Lalu timbullah perhatian pada masalah-masalah perempuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang baru lahir itu (1945); kaum perempuan dijamin hak-hak hukum dan politiknya sama seperti kaum laki-laki. Kaum perempuan pun berhimpun menyokong cita-cita perjuangan nasional. Dalam bulan Desember 1945 kongres perempuan nasional diadakan di Klaten, dan kongres berikutnya di Solo tahun 1946. Kongres Wanita Indonesia dibentuk sebagai suatu federasi dari semua organisasi perempuan yang menyokong kemerdekaan bangsa Indonesia. Dapur umum dibentuk oleh berbagai organisasi perempuan, dan kaum perempuan memainkan peranan penting dalam membangun jalur komunikasi antara perbagai satuan gerilya. Banyak perempuan yang bahkan memanggul senjata. Sementara itu, kaum perempuan menyuarakan tuntutan mereka: upah yang sama dan hak yang sama atas kerja, perbaikan hukum perkawinan, pendidikan untuk kaum perempuan, dan lain-lain.

Sekalipun terjadi kehancuran akibat perang dan kesulitan ekonomi, tibalah saatnya bagi timbulnya harapan-harapan besar: Indonesia baru pasti akan bangkit bila kemerdekaan telah berhasil direbut, dengan emansipasi penuh seluruh rakyat yang tertindas, perempuan maupun laki-1aki. Namun segera terbukti bahwa Presiden Sukarno yang kelak menamakan dirinya “Pemimpin Tertinggi Gerakan Wanita Revolusioner”19) itu tak lebih hanya berpura-pura memberikan perhatian pada perjuangan kaum perempuan. Sesudah kemerdekaan tercapai masalah poligini, yang merupakan salah satu masalah sentral gerakan perempuan, masih juga belum terpecahkan. Begitu juga berlakunya pembagian kerja menurut jenis kelamin. Tidak ada langkah berarti yang diambil untuk melaksanakan reformasi perundang-undangan yang telah terjadi, misalnya undang-undang perburuhan yang sampai sekarang sebagian besar masih tetap berupa tulisan di atas kertas semata.

Perjuangan untuk penghapusan poligini tetap merupakan masalah penting sampai ketika Presiden Sukarno memadu istri pertamanya pada tahun 1954, suatu tindakan yang merupakan pukulan besar bagi gerakan perempuan.20) Timbullah dilema: apakah harus mengesampingkan masalah ini, ataukah harus mengecam sang pahlawan bangsa, dengan risiko dicap sebagai anti-nasionalis. Persatuan gerakan perempuan menjadi sangat lemah, karena sementara golongan tetap meneruskan perjuangan anti-poligini; dalam hal ini terutama Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI), sedangkan golongan-golongan lain mengabaikan masalah tersebut. Baru pada tahun 1974 undang-undang perkawinan baru disahkan, tetapi karena tekanan golongan Islam poligini masih tetap dipertahankan walaupun agak dibatasi.

Sesudah tahun 1950 persatuan gerakan perempuan Indonesia, yang telah dibangun pada hari-hari perjuangan nasional dahulu, berangsur-angsur hancur. Dalam menghadapi pemilihan umum 1955 berbagai partai politik membentuk bagian perempuan musing-musing. Ketegangan antara golongan perempuan Islam dan nasionalis pun timbul. Berkembang bermacam-macam kegiatan; balai-balai perempuan, bank-bank perempuan, bahkan surau perempuan didirikan; bermunculan berbagai macam organisasi dan majalah perempuan, tetapi hampir semua kegiatan ini semakin terikat pada partai politik (laki-laki), gerakan keagamaan (laki-laki), ataupun pada organisasi pejabat laki-laki. Pada sebagian besar organisasi ini pandangan elitis tetap bertahan, walaupun pendudukan Jepang dan perjuangan pembebasan nasional telah agak mengaburkan tajamnya garis pemisah antara golongan kaya dan miskin dalam masyarakat Indonesia.

Sejarah Ringkas Partai Komunis Indonesia

Sejak paruh kedua dasa-warsa 1950-an panggung politik Indonesia menjadi semakin dikuasai oleh ketegangan antara tiga golongan terkemuka: Angkatan Darat, organisasi-organisasi Islam, dan golongan komunis. Kharisma pribadi Presiden Sukarno sajalah yang menjadi faktor penengah utama yang menjaga keseimbangan yang rawan itu.

Gerakan Wanita Indonesia atau GERWANI adalah organisasi perempuan yang paling besar dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Oleh karena organisasi ini sangat dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), maka terlebih dahulu saya perlu mengemukakan sejarah singkat partai ini. PKI didirikan tahun 1920, dalam kerjasama erat dengan sayap kiri dalam Sarekat Islam, sebuah organisasi Islam yang pada mulanya hanya menyokong kepentingan dagang nasional. Pada 1926-1927 di berbagai penjuru negeri pecah pemberontakan nasional, yang PKI terlibat di dalamnya. Penindasan kejam terhadapnya mengakibatkan PKI menjadi sangat terpukul. Maka sekarang nasionalisme borjuis dimungkinkan untuk berkembang, dan dalam tahun 1927 berdirilah sebuah partai nasionalis bernama Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Sukarno sebagai salah seorang pemrakarsanya.

Dalam tahun 1945 PKI dibangun kembali sebagai organisasi legal, dan segera memulai pembenahan organisasinya. Tetapi pada tahun 1948, pada saat pasangnya perjuangan nasional, leader-leader PKI (bukan pimpinan nasionalnya) terlibat dalam pemberontakan Madiun menentang pasukan-pasukan tentara Republik Indonesia. Peristiwa ini dipandang sebagai pemberontakan yang bersifat anti-nasional, dan karenanya ditindas dengan kekerasan. Sekali lagi PKI terpukul.

Sejak permulaan dasa-warsa 1950-an PKI berusaha mendapatkan massa pengikut seluas-luasnya. Gagasannya adalah membangun front persatuan nasional menentang imperialisme dan feodalisme, dengan bekerja-sama partai-partai lain. Pimpinan nasional partai berpendapat bahwa kerja-sama ini lebih mudah dicapai kalau perjuangan melawan imperialisme, bukannya melawan “sisa-sisa feodal” dalam masyarakat, yang lebih diutamakan. Organisasi-organisasi massa, seperti organisasi tani, buruh, perempuan dan pemuda, membantu partai dengan menghimpun massa pengikut. Taktik ini ternyata sangat berhasil, dalam arti bahwa dalam pemilihan umum pertama 1955 PKI, yang memperoleh 16,3% suara, menjadi partai terbesar keempat sesudah PNI dan dua partai Islam, Masyumi dan Nahdlatul Ulama. Ini sungguh sangat mengejutkan karena terjadi begitu cepat sesudah pemberontakan Madiun. Keberhasilan ini menimbulkan amarah di pihak kelompok-kelompok politik lain, dan karena itu dibentuklah front anti-komunis, yang terdiri atas golongan-golongan agama dan militer.

Ketegangan antara berbagai golongan politik meningkat. Situasi ekonomi memburuk dengan cepat, dan keresahan beberapa daerah memuncak menjadi pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi. Dalam usahanya untuk memperkuat kedudukannya, agar bisa mengatasi masalah-masalah tersebut, tahun 1959 Sukarno membubarkan parlemen dan mengumumkan politik Demokrasi Terpimpin. Tahun-tahun berikutnya PKI dan Sukarno semakin erat berangkulan. Berbeda dengan partai partai politik lain, karena disiplin partainya, PKI tidak terlalu dirugikan oleh pembubaran parlemen. PKI berkembang pesat, dan segera menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia. Sukarno memerlukan PKI untuk mencegah Angkatan Darat bersama golongan Islam terlalu banyak memperoleh kekuasaan; sebaliknya PKI memerlukan perlindungan Sukarno untuk menghadapi kedua musuhnya yang sama itu. Dalam tahun 1960 Sukarno meluncurkan formula NASAKOM: kerjasama kekuatan-kekuatan nasionalis (NAS), agama (A), dan komunis (KOM) untuk membangun Indonesia yang adil makmur aman sentausa. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, orang-orang komunis disertakan dalam pemerintahan, yang sangat tidak disukai oleh Angkatan Darat. Angkatan Darat ini sekalipun resminya tidak disertakan dalam NASAKOM, semakin mendominasi di bidang politik, ekonomi, maupun militer.

Sejak bulan Mei 1963 dilancarkan kampanye anti-Malaysia. Pembentukan federasi Malaysia dipandang sebagai rencana neo-kolonialisme Inggris, dan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Sukarno melancarkan “politik konfrontasi” terhadap negara baru ini. Dukungan massa yang sebesar-besarnya dikerahkan dalam rangka kampanye menentang “the old established forces” (OLDEFOS, kekuatan-kekuatan lama yang bercokol), dan PKI adalah salah satu penyokong kampanye anti-imperialisme yang paling aktif. Walaupun perhatian Sukarno lebih banyak dicurahkan pada perjuangan menentang imperialisme daripada pembangunan sosialisme di dalam negeri, namun ia berusaha melaksanakan beberapa langkah sosialis, seperti misalnya landreform (perombakan pemilikan tanah pertanian) tahun 1960. PKI, dan khususnya, kaum tani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI), aktif menyambut tindakan ini dengan memperjuangkan kepentingan petani kecil dan buruh tani. Ketika kemudian menjadi jelas bahwa landreform sangat sulit diberlakukan pada tanah-tanah milik petani kaya yang luasnya melebihi batas maksimum, PKI mendukung BTI yang menjalankan “aksi sepihak” sebagai cara kaum tani memperoleh tanah dengan paksa. Aksi-aksi ini pada tahun 1964 menimbulkan ketegangan hebat di desa-desa: banyak orang konservatif, terutama golongan-golongan Muslim menjadi memusuhi mereka.21)

GERWANI - Sekilas Sejarah

Sejalan dengan berkembangnya pengaruh PKI dan PNI yang berhaluan kiri, sejak akhir dasa-warsa 1950-an dua organisasi perempuan kiri mulai memperoleh kedudukan penting, GERWANI yang rnendukung PKI dan Wanita Marhaen yang nasionalis.22) GERWANI berasal dari Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang didirikan tahun 1950 dengan anggota hanya 500 orang perempuan. Para anggota ini pada umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Dari segi ideologi, organisasi ini merupakan kelanjutan dari Isteri Sedar dulu. Kaum perempuan dalam GERWIS umumnya dari generasi yang lebih muda, tetapi mereka punya hubungan dengan perempuan yang bergabung dalam Isteri Sedar.

Pada tahun 1954, ketika anggotanya mencapai 80.000, sejalan dengan politik PKI saat itu, GERWIS memutuskan untuk lebih berencana menarik kaum perempuan dari kalangan massa.23) Sebagai simbol untuk keputusannya ini, nama organisasi diubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Dalam kurun waktu itu GERWANI mengarnbil peranan sangat aktif dalam kampanye-kampanye untuk pemilihan umum parlementer, dan berhasil pula: empat orang anggotanya terpilih dalam pemilihan umum 1955 itu. Tahun 1956 keanggotaannya mencapai lebih dari setengah juta. Namun terlepas dari massa anggota yang terus meningkat (tahun 1960 dikatakan telah mencapai sekitar 700.000), jumlah kader perempuan masih tetap agak kecil (tiga di pimpinan pusat, dan bahkan tidak satu orang pun di setiap cabang — padahal jumlah cabang sudah banyak, tahun 1957 tercatat ada 1,83 cabang).24) Dalam tahun-tahun ini usaha pertama-tama diarahkan untuk mencapai pulaupulau luar Jawa. Kader-kader dari Jawa dikirim ke berbagai penjuru Nusantara untuk mendirikan cabang-cabang organisasi.

Karnpanye GERWANI tertuju pada beberapa masalah perkosaan di Jawa Barat dan Bali. Organisasi ini juga melakukan agitasi untuk rnemberikan dukungan kepada lurah-lurah perempuan. Beberapa orang perempuan telah terpilih menjadi lurah, tetapi tidak bisa menjalankan jabatan karena hukum kolonial melarang kaum perempuan menduduki jabatan semacam ini.

Tahun 1961 anggota organisasi mencapai lebih dari satu juta orang. Cabang-cabang didirikan di seluruh penjuru negeri. Kaum perempuan tertarik pada organisasi ini semata-mata oleh karena kegiatannya yang menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Warung-warung koperasi dan koperasi simpan-pinjam kecil-kecilan didirikan. Perempuan tani dan buruh disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja. Taman kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar, perkebunan-perkebunan, kampung-kampung. Kaum perempuan dididik untuk menjadi guru pada sekolah-sekolah ini. Dibuka pula badan-badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus-kursus kader dibuka pada berbagai tingkat organisasi, dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku tutisan Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Sukarno. Pada kesempatan ini juga diajarkan keterampilan teknis, misalnya tata buku dan manajemen. Hal penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia.

Sudah sejak awalnya GERWANI sangat giat dalam membantu peningkatan kesadaran perempuan tani, bekerja-sama dengan bagian perempuan BTI. Pada tahun 1961 diselenggarakan seminar khusus untuk membahas bersama persoalan mereka.25) Belakangan GERWANI juga membantu aksi-aksi sepihak pendudukan tanah yang dilancarkan oleh BTI, dan menuntut agar hak atas tanah juga diberikan kepada kaum perempuan.

Di samping kegiatannya di tengah-tengah perempuan tani, GERWANI juga melakukan serangkaian kegiatan lain yang menarik. Di antaranya adalah kampanye pemberantasan buta huruf yang dimulai tahun 1955, perubahan undang-undang perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk perkosaan dan penculikan, dan kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi untuk kaum tani dan buruh perempuan. Para aktivis GERWANI melakukan kegiatan besar-besaran pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan, sekaligus mendidik para peserta mengenai masalah-masalah politik yang hangat pada masanya, termasuk masalah-masalah perempuan. Bersama dengan kaum perempun dari organisasi-organisasi lain, mereka saling membantu menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, baik di tingkat kampung, kota, maupun provinsi, mengenai soal-soal seperti kesejahteraan keluarga, kesehatan, kebersihan, dan juga soal-soal yang lebih bersifat “feminis” seperti pelacuran, perkawinan anak-anak, dan perdagangan perempuan. Disediakan bantuan hukum, juga bantuan untuk korban banjir dan bencana alam lainnya.

Bersama dengan anggota-anggota PKI dan organisasi-organisasi massa lain (selain organisasi massa tani yang telah disebut di atas adalah organisasi massa buruh yang kuat, organisasi massa pemuda, dan organisasi kebudayaan), GERWANI ikut serta dalam macam-macam demonstrasi, pawai atau protes. GERWANI membantu sekretariat perempuan serikat buruh, dalam perjuangan mereka menuntut hak-hak buruh perempuan, misalnya upah yang sama, pelaksanaan undang-undang perburuhan, dan perlindungan terhadap penyerangan seksual.

GERWANI menerbitkan dua majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini terutama ditujukan bagi pernbaca lapisan tengah yang sedang tumbuh dan memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, dan lain-lain, tetapi juga soal-soal yang lebih “feminis” dan “kiri” seperti kebutuhan akan taman kanak- kanak, kejahatan imperialisme (Api Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Amerika yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar, dan baru belakangan PKI melontarkan masalah imperialisme kebudayaan Barat), poligini, dan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, serta masalah-masalah sekitar kaum perempuan yang bekerja. Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi-konferensi yang akan datang, laporan kunjungan ke organisasi-organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis, dan lain-lain. Apabila Api Kartini terutama terbit untuk menarik perempuan golongan tengah, dan meyakinkan mereka bahwa GERWANI pun memberikan perhatian pada masalah-masalah “tradisional” perempuan, Berita Gerwani yang lebih radikal bermaksud memberikan dukungan kepada kader-kader daerah dan membantu mereka dalam menghadapi tugas-tugas mereka.

Hubungan GERWANI dengan PKI

Salah satu di antara masalah-masalah paling mendesak yang dihadapi GERWANI dan yang juga menimbulkan diskusi-diskusi hangat terutama di kalangan pimpinan pusatnya adalah persoalan “otonomi” organisasi dalam hubungannya dengan pimpinan PKI. Khususnya karena kejadian-kejadian dramatis sesudah Oktober 1965, masalah ini perlu dianalisis dengan lebih rinci.

Pada awal dasa-warsa 1950-an terjadi perdebatan sengit antara anggota-anggota organisasi (ketika itu masih GERWIS) yang menginginkan organisasinya menjadi organisasi dari orang-orang yang berkesadaran sangat tinggi mengenai soal-soal organisasi, khususnya soal-soal yang lebih “feminis” seperti poligini, dengan di lain pihak anggota-anggota yang menginginkan masuknya juga orang-orang yang tidak begitu sadar tentang soal-soal feminis, dan tidak begitu tertarik pada debat-debat berat dan kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran. Golongan kedua ini berpendapat bahwa organisasi akan lebih efektif kalau memperluas keanggotaannya di kalangan massa, yang berangsur-angsur dan dengan kerja keras akan ditingkatkan kesadarannya. Dalam jangka panjang khalayak yang lebih besar akan dijangkau, meskipun soal-soal yang diangkat tidak seluruhnya dibahas secara ideologis (baik dari sudut feminis maupun kiri) secara murni seperti yang diinginkan. Golongan “murni” kalah dalam pertarungan ini, dan golongan yang menghendaki GERWIS/GERWANI lebih mendekat ke PKI dengan pendekatan garis massanya mendapatkan kemenangan. Meskipun demikian secara resmi GERWANI tidak pernah berafiliasi dengan PKI. Pada bulan Desember 1965 rencananya akan diselenggarakan kongres yang akan membahas masalah afiliasi ini. Mungkin sekali gagasan afiliasi dengan PKI akan diterima kongres, tetapi peristiwa bulan Oktober 1965 menggagalkannya.

Implikasi lain ialah bahwa organisasi sebenarnya belum pernah membahas secara terbuka masalah-masalah seperti pembagian kerja seksual tradisional, walaupun sejumlah kader telah berjuang menentang ketidak adilan yang cukup nyata pada tingkat perorangan. Beberapa kader dengan tegas menyebutkan usaha mereka untuk mendidik anak-anak laki-laki agar mau mengerjakan tugas-tugas rumah-tangga bersama-sama, dan suami juga diharapkan mengerjakan pekerjaan rumah-tangga yang umumnya dipandang nyaris sebagai tugas perempuan saja.

Jadi ringkasnya hubungan GERWANI dengan PKI adalah hubungan yang mendua dan rumit. Pada umumnya GERWANI menyokong kampanye-kampanye politik terpenting yang dilancarkan PKI, tetapi juga ada beberapa titik perselisihan di antara keduanya. Pada awal dasa-warsa 1950-an, ketika ketegangan politik meningkat dan masyarakat Indonesia semakin mengalami politisasi dan polarisasi, GERWANI bergeser semakin dekat dengan PKI.

Perkembangan ini terbawa oleh mereka yang mempunyai keanggotaan rangkap, PKI dan GERWANI sekaligus. Tetapi sampai saat terakhir GERWANI tidak pernah secara resmi menjadi bagian perempuan PKI.

Beberapa Masalah Intern GERWANI

Ditinjau dari sudut ideologi tentang keluarga dan seksualitas, GERWANI sebagai organisasi agak bersifat konservatif, dan sangat ingin mempertahankan citra mendukung kaidah-kaidah zamannya. Bentuk “pelembagaan” hubungan seksual yang lebih dikehendaki ialah hubungan heteroseksual yang monogami. Mereka menyelenggarakan penyuluhan-penyuluhan perkawinan, dimana pasangan suami-istri yang menghadapi masalah-masalah gawat bisa memusyawarahkannya, dalam rangka menyelamatkan keutuhan perkawinan. Satu-satunya persoalan yang organisasi bersikap agak keras adalah menyangkut poligini, yakni orang-orang yang mau dimadu tidak boleh menjadi anggota organisasi. Kalau ada anggota yang mau menjadi istri kedua, ia akan dipecat. Tindakan demikian kadang menimbulkan masalah serius di kalangan laki-laki anggota PKI dan organisasi massanya. Pemimpin yang khususnya berhasil kadang-kadang terbujuk untuk menuai hadiah tradisional dari keberhasilannya itu, yaitu menikahi istri kedua, yang lebih muda. Jika istri pertama datang meminta bantuan GERWANI, maka GERWANI akan membantunya, mengutuk sikap “feodal” laki-laki bersangkutan, yang memandang dirinya begitu “maju.”

Walaupun jumlah kader GERWANI barangkali sedikit, dan tingkat pendidikan serta ideologi dari banyak kader daerahnya umumnya agak rendah, tetapi pengabdian dan tanggung-jawab mereka itu sangat mengesankan. Kader-kader muda di daerah-daerah sanggup berjalan kaki berhari-hari tanpa memakai sandal atau sepatu, naik-turun gunung, melewati sawah ladang, mendatangi kaum miskin di desa-desa terpencil dan bekerja bersama-sama kaum perempuan di sana, mendidik mereka, serta berusaha membantu memecahkan persoalan-persoalan mereka. Sebagian besar kader benar-benar menyerahkan hidup mereka untuk organisasi, bekerja keras sejauh kemampuan mereka dari pagi buta sampai larut malam, sering-kali dalam keadaan yang penuh kesulitan. semangat dan keyakinan mereka pada kemampuan organisasi sangat bertentangan dengan keengganan di kalangan banyak perempuan golongan menengah sekarang, yang diwajibkan aktif dalam organisasi perempuan masing-masing menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang terutama dirumuskan oleh pemerintahan laki-laki negeri ini.

Sekalipun GERWANI terus-menerus berusaha mendidik kader-kadernya, tetapi pertumbuhan organisasi yang pesat mengakibatkan persoalan kurangnya kader yang terlatih tetap tidak terjawab. Akibatnya para anggota dan kader yang aktif sering tertimbun pekerjaan. Banyak kader mengeluh bahwa mereka tidak punya cukup waktu untuk melakukan semua tugas yang mendesak itu.

Kader-kader ini menghadapi banyak kesulitan. Yang pertama adalah jalur komunikasi dengan pimpinan nasional di Jakarta itu sulit dan lama. Kadang-kadang diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan jawaban atas surat-surat yang mereka kirim. Kedua, mereka menghadapi oposisi keras dari kalangan Angkatan Darat maupun dari kelompok kelompok Muslim tertentu. Dalam masalah ini kader-kader umumnya bersandar pada kebijakan masing-masing, o1eh karena pimpinan pusat tidak memberikan banyak perhatian khusus untuk mencari kesepakatan dengan organisasi-organisasi perempuan Islam. Dalam tahun-tahun terakhir riwayatnya, GERWANI demikian kuatnya sehingga timbul permusuhan dari kalangan perempuan Islam dan agama-agama lain. Aisyah, salah satu organisasi perempuan Islam yang terkuat dan tertua, merasa sangat terancam oleh kekuatan GERWANI, dan baru merasa lega sesudah GERWANI dihancurkan setelah Oktober 1965. Kesulitan lain yang dihadapi para kader, khususnya di luar Jawa, adalah terlalu besarnya perhatian pada persoalan yang relevan untuk kaum perempuan Jawa. Perbedaan daerah di Indonesia demikian besarnya sehingga hal-hal yang sangat penting bagi kaum perempuan Jawa mungkin sekali sangat jauh berbeda dengan bagi kaum perempuan, misalnya, di Sulawesi atau Sumatra Barat.

Persoalan terakhir yang ingin saya kemukakan ialah sentralisasi kepemimpinan yang sangat kuat: Keputusan-keputusan terpenting sesungguhnya dibuat di Jakarta, khususnya yang menyangkut kebijakan nasional, arti penting kampanye-kampanye tertentu, hubungan dengan organisasi-organisasi perempuan lain, dan dengan PKI serta organisasi- organisasi massanya. Saya berpendapat bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh dua faktor: (1) struktur hirarkis “sentralisme demokratis” yang menjadi kecenderungan kebanyakan organisasi kiri; dan (2) paham Jawa tentang kepemimpinan. Jawa selalu memiliki ciri kepemimpinan yang sangat hirarkis dan sentralistis. Akibatnya ialah pimpinan pusat tidak selalu menyadari tentang berbagai masalah paling mendesak yang dihadapi kader di daerah-daerah, terlalu terserap pada persoalan-persoalan nasional.

GERWANI dan Hubungannya dengan Organisasi-Organisasi Perempuan Lain

Pada masa itu GERWANI adalah organisasi perempuan yang paling pesat perkembangannya, sekaligus juga paling berpengaruh dan paling kontroversial. Ketika itu organisasi-organisasi perempuan yang lain juga sangat aktif, sehingga bisa dikatakan bahwa gerakan perempuan sedang berkembang. Walaupun pada tingkat nasional tarnpak jelas adanya perbedaan tertentu antara organisasi-organisasi yang terpenting, tetapi di daerah-daerah kerja-sama dapat terjalin dengan baik. Kongres Wanita Indonesia (saat itu disingkat KWI) adalah suatu badan koordinasi bagi semua organisasi perempuan. Sebagai akibat adanya perbedaan yang semakin mendalam antara bermacam-macam organisasi perempuan sejak tercapainya kemerdekaan, kongres pun kehilangan banyak kemampuannya. Selama dasa-warsa 1950-an sampai tahun 1964, kongres ini praktis hanya tinggal sekretariat di tingkat pusat, tanpa kekuatan eksekutif yang berarti. Para anggota pengurus KWI mengingatkan kembali tentang semangat anggota-anggota GERWANI, dan apa yang mereka namakan sebagai usaha GERWANI untuk mendominasi organisasi-organisasi perempuan lainnya. Para anggota GERWANI memang selalu di barisan terdepan dalam setiap kegiatan KWI, dan mereka pun hadir dalam banyak konferensi internasional, misalnya di Tiongkok, Uni Soviet, dan India, bersama-sama dengan anggota-anggota organisasi-organisasi perempuan lain.

Seperti disebutkan di atas, hubungan GERWANI dengan golongan perempuan Islam agak tegang. Demikian pula halnya hubungannya dengan organisasi perempuan nasionalis yang terbesar, Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI). Persoalan dengan PERWARI ini agaknya bisa dibagi menjadi dua masalah pokok. Pertama, ada perbedaan yang sangat besar dalam hal keanggotaan. Sebagian besar anggota PERWARI berasal dari kalangan borjuasi, terutama istri-istri intelektual dan birokrat yang merupakan inti pengikut Presiden Sukarno. Banyak intelektual perempuan yang menjadi anggota, tetapi pada umumnya organisasi ini agak bersuasana borjuasi-tradisional Barat. Sedang anggota GERWANI lebih banyak berasal dari perempuan miskin dari lapisan menengah bawah dan kelas buruh, walaupun seperti sudah disebutkan di atas melalui Api Kartini mereka berusaha menarik lebih banyak kaum perempuan borjuis. Kedua, PERWARI, khususnya pada diri ketuanya, Sujatin Kartowijono, mengambil sikap keras mengenai masalah poligini, juga pada saat perkawinan Presiden Sukarno yang kedua tahun 1954. GERWANI sebegitu jauh tidak terlalu keras menentang Presiden Sukarno. Untuk keberaniannya itu PERWARI harus membayar mahal: banyak fasilitas yang dulu diperolehnya menjadi hilang.

Sungguh berat tugas KWI untuk menggabungkan kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan itu. Pada tahun 1958 anggota anggota GERWANI mendorong kerjasama yang lebih erat antara berbagai golongan kiri yang ada dalam KWI dengan maksud agar KWI menjadi lebih peka dan aktif dalam masalah-masalah yang relevan bagi kaum perempuan miskin. Dibentuklah “Gerakan Massa” di dalam KWI. Golongan kiri (termasuk sejumlah organisasi perempuan Islam) berusaha mendorong KWI memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret, dengan menegaskan hubungan antara emansipasi perempuan dengan gerakan sosialisme. Beberapa orang pengurus KWI yang lain, seperti Maria Ulfah, dengan sengit menentang usaha yang disebutnya “infiltrasi” GERWANI ini, dan “Gerakan Massa” pun dibubarkan. Tetapi KWI tidak bisa menghindar berada sekereta dengan golongan kiri. Pada kongresnya tahun 1961 wewenang eksekutif sekretariat diperluas, dan diputuskan juga bahwa KWI adalah “alat revolusi,” sesuai dengan semboyan pada masa itu. Maka kegiatan-kegiatan demi kaum perempuan miskin pun lebih banyak diselenggarakan. Perkembangan ini mengakibatkan timbulnya polarisasi di dalam organisasi. Golongan kanan, terutama golongan Islam, menolak gerakan kiri ini. Dalam tahun 1962 KWI menjadi anggota Front Nasional, yang membolehkan anggota-anggotanya, terutama dari GERWANI, untuk mengikuti latihan sukarelawan untuk perjuangan nasional yang lebih besar, yaitu “pembebasan” Irian Barat dan menentang pembentukan federasi Malaysia. Pada kongres tahun 1964 namanya yang lama, KOWANI, digunakan lagi, dan Nyonya Subandrio, seorang tokoh perempuan nasionalis kiri, menjadi ketuanya. KOWANI terus bergeser ke kiri, dan tanggal 8 Maret 1965 dirayakan sebagai peristiwa nasional. Perebutan kekuasaan Oktober 1965 mengakhiri proses ini.

Sekitar 1964 dan 1965 GERWANI mengorganisasikan beberapa demonstrasi massa yang sangat militan untuk memprotes laju inflasi dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok seperti beras. Misalnya tahun 1965 banyak anggota GERWANI ikut serta dalam demonstrasi yang berlangsung dengan kekerasan di Surabaya. Rumah gubernur rusak berat akibat demonstrasi ini. Dalam tahun yang sama GERWANI telah menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia, dengan jumlah anggota sekitar 1,5 juta. Kaum intelektual, guru, bidan, dan buruh, serta petani terhimpun di dalamnya.

Pada waktu itu semua kekuatan kiri terpaksa semakin bergantung pada politik tengah Presiden Sukarno, mengingat ketegangan yang makin menajam dengan golongan Islam dan Angkatan Darat. Seperti sudah dikemukakan di atas, bagi GERWANI yang masih tetap berjuang menentang poligini dan menuntut reformasi perkawinan, hal ini merupakan dilema. Dalam kongres GERWANI 1954, tuntutan undang-undang perkawinan baru menjadi butir pertama dari program lima butir yang baru disahkan. Sepuluh tahun kemudian, 1964, semua semboyan nasionalis kiri pada waktu itu dicantumkan lagi, tetapi hampir tidak ada sepatah katapun mengenai persoalan poligini. Ini pertanda bahwa di dalam masa sepuluh tahun itu posisi GERWANI telah bergeser, setidak-tidaknya pada tingkat pusat. Soal “feminis” terpenting saat itu, yaitu undang-undang perkawinan baru, dikesampingkan. Tetapi di daerah, kader-kader dan anggota-anggota GERWANI terus berjuang melawan poligini dan akibat-akibatnya terhadap kaum perempuan. Pada pidato ketua GERWANI yang disampaikan tahun 1964 antara lain dikemukakan bahwa GERWANI bertentangan dengan organisasi-organisasi perempuan lain yang menurut kata-kata ketua ini “hanya giat berjuang untuk kepentingan nyonya-nyonya pejabat tinggi.” Jelas kata-kata tersebut dialamatkan pada PERWARI. Ketua GERWANI mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan demikian sebenarnya tidak jelek, tetapi bisa digunakan sebagai serangan terhadap pribadi Presiden Sukarno, “di tengah-tengah politik konfrontasi terhadap Malaysia seperti sekarang ini.” Serangan itu harus dijawab, kata ketua GERWANI kepada hadirin, karena itu perjuangan harus diarahkan pada kepentingan rakyat miskin, yaitu buruh tani dan tani miskin.26) Tampaknya jelas bahwa GERWANI menolak banyak soal yang saat itu disebut “kontra-revolusioner” yang tidak secara langsung berhubungari dengan perjuangan anti-imperialisme, dan yang bisa membahayakan kedudukan politik GERWANI dan PKI di mata Presiden Sukarno.

Kudeta Militer don Akibatnya

Di tengah suasana politik yang sangat rawan itu, pada malam hari tanggal 30 September 1965 sejumlah perwira menengah Angkatan Darat menculik dan membunuh enam orang jenderal. Sejauh mana Presiden Sukarno dan PKI terlibat dalam usaha perebutan kekuasan ini masih menjadi pertanyaan sampai sekarang. Baru-baru ini diperoleh bukti bahwa CIA (Central Inteligence Agency, badan intelijen Amerika Serikat) terlibat di dalamnya bersama dengan KOSTRAD (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah pimpinan Jenderal Soeharto.27) Angkatan Darat, di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang saat itu merupakan tokoh urutan kedua, segera menguasai keadaan dan berhasil melempar kesalahan pada PKI berikut organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya. Salah satu di antara aset paling penting Angkatan Darat yang bisa digunakan untuk memberatkan tuduhannya terhadap PKI ialah kenyataan bahwa pembunuhan itu terjadi di Lubang Buaya, di dekat Pangkalan Angkatan Udara Republik Indonesia, tempat sukarelawan-sukarelawan Pemuda Rakyat dengan dibantu sejumlah anggota GERWANI menjalani latihan dalam rangka aksi ganyang Malaysia yang sedang menggelora.

Sesungguhnya tidak ada yang luar biasa dalam hal ini, pemuda-pemudi dari golongan nasionalis mendapatkan latihan yang sama, dan menurut rencana sehari setelah kup, yakni pada 1 Oktober yang mendapat giliran latihan adalah pemuda-pemudi Muslim. Tetapi sesudah mayat para jenderal yang terbunuh ditemukan, Angkatan Darat menyebar cerita keji tentang upacara pembunuhan jenderal-jenderal itu oleh perempuan-perempuan muda komunis yang “mendapatkan latihan khusus.” Diceritakan bahwa perempuan-perempuan ini melakukan “tarian cabul” dan menyayat-nyayat tubuh para jenderal dengan silet yang dibagi-bagikan kepada mereka; mencungkil mata dan memotong alat kelamin para korban. Kisah-kisah tentang kejahatan seksual perempuan-perempuan komunis itu membangkitkan amarah kalangan massa Islam. Koran-koran menyiarkan citra perempuan yang sama sekali bertentangan dengan segala nilai perempuan Indonesia yang semestinya: lemah-lembut, pendiam, penurut, sopan, ibu yang penuh kasih-sayang, dan istri yang setia. Tetapi para ahli forensik, yang memeriksa mayat-mayat itu sesudah diangkat dari sumur tempat mereka dibuang, tidak mendapati adanya bekas-bekas luka seperti yang dituduhkan.2 8) Jika kisah-kisah seperti itu sudah cukup biadab di mata kaum Muslim ortodoks, apalagi laporan yang diedarkan belakangan: Ketua PKI D.N. Aidit punya ratusan anggota GERWANI yang telah dilatih menjadi pelacur untuk melayani dirinya beserta anggota-anggota PKI lainnya. Dalam karikatur yang dimuat, misalnya, dalam koran Angkatan Darat, Angkatan Bersendjata, PKI digambarkan sebagai setan dengan GERWANI sebagai ibu-ibu jahat, yang meninggalkan anak-anak mereka sendirian dan bahkan tega membunuhnya. Tuduhan tersebut kemudian dihubungkan dengan terbunuhnya anak perempuan Jenderal Nasution dalam peristiwa itu (Nasution sendiri lolos). Kenyataan yang terjadi seorang tentara menembak si anak di rumahnya ketika mencari ayahnya. Para anggota GERWANI dikatakan bukan wanita “sejati” dan berhati jahat. Maka, seperti pesan yang terbaca, membersihkan masyarakat dari “bencana” itu bukanlah perbuatan dosa.

Kombinasi propaganda koran-koran dan Angkatan Darat itu berhasil gilang-gemilang. Barangkali bisa dikatakan merupakan satu-satunya kampanye fltnah yang paling berhasil dalam sejarah dunia modern. Sampai saat sekarang pun kisah-kisah kekejian yang konon dilakukan perempuan-perempuan komunis di Lubang Buaya masih dipercaya luas di Indonesia. Bahkan para ilmuwan terkenal seperti Benedict Anderson dan Ruth McVey pun, dalam tulisan mereka yang merupakan usaha pertama untuk menganalis kudeta itu, mencerminkan pandangan Angkatan Darat: “tiga orang (jenderal) lainnya diludahi dan dihina oleh orang-orang GERWANI dan Pemuda Rakyat, yang diberi tahu bahwa mereka adalah musuh-musuh presiden,” dan “ia (Letnan Tendean), mulanya dipukuh habis-habisan dan kemudian, setelah ia jatuh tersungkur di tanah (barangkali sudah mati), perempuan-perempuan GERWANI, yang kebanyakan masih remaja, yang telah diberi silet dan pisau, berbaris antri, dan diperintahkan menyayat tubuhnya secara bergiliran.”29) Walaupun mereka berpendapat bahwa seluruh skenario ini dirancang sebagai “penumpahan darah korban-korban tak bersalah,” dan bahwa motif pelibatan GERWANI dan Pemuda Rakyat adalah untuk “melibatkan dan melumpuhkan PKI”30) mereka tidak mempertanyakan kebenaran “pengakuan” gadis-gadis yang ditahan dan disiksa habishabisan itu.

Akan tetapi fakta yang sebenarnya ialah bahwa tidak seorang perempuan pun yang katanya ikut serta dalam tarian cabul, dan yang melacurkan diri dengan “gila-gilaan,” pernah diajukan ke depan meja hijau pengadilan, sekalipun mereka semua telah ditangkap dan ditahan. Padahal pengadilan seperti itu, seperti yang dikemukakan Brian May, pasti akan punya dampak propaganda yang luar biasa. Ini tidak aneh bila kita ingat bahwa “bukti” yang mereka gunakan untuk menuduh GERWANI itu, sekurang-kurangnya sebagian, “dibuat di kamp-kamp tahanan, dengan menggunakan gadis-gadis tahanan sebagai “pelaku” untuk bahan yang kemudian dipropagandakan sebagai “bukti” tentang keterlibatan mereka.31)

Histeria massa yang timbul kemudian menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan GERWANI dan semua organisasi lain yang berkaitan dengan PKI. Dalam periode teror yang kemudian timbul, lebih dari setengah juta orang dibunuh dan lebih dari tiga per empat juta lainnya ditahan. Banyak dari mereka ditahan selama 15 tahun atau lebih tanpa proses pengadilan, tetapi hanya belasan di antara mereka yang pernah diadili. Dan, walaupun keterlibatan mereka dalam kudeta tidak terbukti sama sekali, sidang-sidang pengadilan sekitar pertengahan 1970-an itu telah menjadi alat pembenaran untuk mendiskreditkan GERWANI dan gerakan kiri seluruhnya.

Massa luas digerakkan untuk berdemonstrasi melawan semua organisasi kiri. Golongan-golongan perempuan yang anti-GERWANI membentuk KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia). Mereka menuntut agar semua organisasi dibersihkan dari unsur-unsur kiri, dan agar semua organisasi kiri dinyatakan terlarang. Kampanye menjatuhkan GERWANI itu berhasil gilang-gemilang. Ingatan pada GERWANI benar-benar telah dihilangkan dari sejarah resmi gerakan perempuan Indonesia,32) dan orang-orang yang pernah menjadi anggotanya masih menghadapi bahaya kalau terang-terangan mengakui pernah terlibat GERWANI dalam bentuk apa pun. Berakhirnya riwayat organisasi perempuan Indonesia yang terbesar ini sungguh mendadak, cepat, dan tidak terduga-duga.

Masih pada akhir bulan Oktober 1965 GERWANI secara resmi dikeluarkan dari KOWANI. Tetapi sulit benar-benar menghapus pengaruh GERWANI yang kuat pada KOWANI. Evaluasi terhadap kegiatan KOWANI baru-baru ini menyatakan bahwa sebagai akibat pengaruh kiri terutama melalui diri ketua KOWANI Nyonya Subandrio, istri tokoh nasionalis kiri, maka sampai tahun 1966 pun KOWANI masih memperingati Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret.33) Tahun 1966 GERWANI secara resmi dinyatakan terlarang. Dalam proses pembentukan pemerintah “Orde Baru” Jenderal Soeharto, KOWANI dan semua organisasi perempuan yang lain harus “menyesuaikan diri.” Secara berangsur-angsur hampir semua program sosial dan ekonomi mereka yang mengabdi kepentingan perempuan miskin dan perempuan desa harus dihapuskan.

Walaupun GERWANI dan semua organisasi kiri lainnya telah dibubarkan dan dihancurkan sama selcali, ketakutan akan kekacauan yang ditimbulkan oleh organisasi perempuan kiri itu masih tetap ditiup-tiupkan di kalangan rakyat. Penduduk terus-menerus diingatkan pada akibat-akibat mengerikan yang bisa ditimbulkan oleh organisasi perempuan kiri itu. Rakyat dihasut dengan kebencian mendalam terhadap “Setan Komunis” yang pengaruh jahatnya dikatakan luar biasa kuat terhadap kaum perempuan.

Obat paling manjur untuk melawan “bahaya” ini konon haruslah dengan menegaskan kuat-kuat peran kaum perempuan sebagai istri, ibu, dan ibu rumah-tangga. Agen-agen utama untuk mencapainya adalah organisasi-organisasi perempuan yang ada yang tampil kembali dalam bentuk baru. Sekarang seluruh organisasi perempuan telah dikekang atau dibenahi, agar sejalan dengan tujuan pemerintah, dan bukannya ke arah emansipasi perempuan serta berjuang demi kepentingan perempuan miskin seperti yang diperjuangkan GERWANI. Maka dengan perebutan kekuasaan oleh militer di Indonesia, usaha pertama untuk membangun organisasi perempuan sosialis itu pun sama sekali hancur.

Organisasi-Organisasi Perempuan “Orde Baru”

Dalam dua tahun sesudah berhasil menghancurkan usaha kudeta, Jenderal Soeharto menegakkan kekuasaan militer sepenuhnya, dan ia sendiri tampil sebagai presiden. Di bawah “Orde Baru”-nya (untuk dipertentangkan dengan “Orde Lama” masa Presiden Sukarno), semua organisasi massa dikekang sedang partai-partai politik disingkirkan atau dibikin tidak berdaya. Dengan memanfaatkan ketakutan rakyat yang telah tertanam melalui pembantaian besar-besaran terhadap kekuatan kiri yang terus berkepanjangan sampai tahun 1968, Soeharto berhasil menjalankan rencana-rencananya tanpa ada perlawanan yang berarti. Pada pertengahan dasa-warsa 1970-an proses ini telah diselesaikan, dan masyarakat telah berhasil dibersihkan sama sekali dari “unsur-unsur kiri.33) Tidak berarti bahwa sekarang Angkatan Darat menikmati kekuasaan. Sebaliknya, Angkata Darat masih harus menggigit jari, dan Orde Baru bahkan menyusun partai politiknya sendiri, GOLKAR, sebuah gabungan dari berbagai golongan fungsional. Militer menguasai seluruh sektor masyarakat, termasuk di bidang ekonomi.34) Pada akhirnya, yang disingkirkan itu bukan hanya golongan kiri, tetapi perlahan-lahan juga kekuatan tengah. Pada saat sekarang mereka tidak hanya menganggap komunisme sebagai ajaran yang bertentangan bagi bangsa Indonesia, tetapi juga liberalisme.

Untuk bisa mengerahkan dukungan massa guna kepentingan mengubah pemerintahan, Jenderal Soeharto mengadakan rapat-rapat umum pemuda, pelajar, dan juga kaum perempuan, KAWI, yang,sudah saya sebut di atas. Hampir semua musuh GERWANI tergabung di dalamnya. Seperti dikatakan oleh Ibu Baroroh Baried, Ketua Aisyah, kepada saya: “Kami telah terlalu lama mendapat lampu merah. Dalam Orde Baru kami akhirnya kembali mendapat lampu hijau.” Hanya PERWARI yang tetap mempertahankan posisinya sebagi “satu-satunya” organisasi perempuan. Organisasi ini selalu berusaha mengelak dari masalah politik nasional. Sungguh menarik bahwa tidak ada satu organisasi perempuan pun yang secara terbuka mencela pembunuhan kejam orang-orang GERWANI, yang selama sepuluh sampai lima-belas tahun terakhir bekerja-sama dengan mereka. Beberapa tahun kemudian Wanita Katolik adalah organisasi yang pertama mengulurkan bantuan kemanusiaan kepada, orang-orang GERWANI yang masih hidup dalam tahanan. Mereka mengunjungi tempat-tempat penahanan, membantu kehidupan para tahanan dan para korban.

Dalam tahun-tahun pertama sesudah kudeta, organisasi-organisasi perempuan telah dibersihkan dari “unsur-unsur kiri.” Misalnya, PERWARI, yang pada tahun-tahun terakhir menjelang kudeta menghadapi banyak kesulitan, menarik sejumlah istri pejabat tinggi tokoh nasional kiri dari kedudukannya sebagai anggota pengurus. Dalam tahun 1966 mereka dipaksa keluar atau mengundurkan diri dari organisasi. Demikian juga berangsung-angsur PERWARI harus meninggalkan kegiatannya yang berhubungan dengan kepentingan kaum perempuan miskin.

Selama dua puluh tahun terakhir ini organisasi-organisasi yang semula menyambut “Orde Baru” pun menjadi kecewa. Lampu hijau bagi organisasi-organisasi Islam segera berubah menjadi selalu kemerah-merahan. Mereka boleh menyelenggarakan pertemuan-pertemuan pengajian, boleh menjalankan “kegiatan amal” untuk perempuan miskin, bahkan di tengah-tengah perempuan desa (dan hanya merekalah organisasi perempuan yang bisa berbuat demikian selain organisasi-organisasi yang didirikan pemerintah.) Tetapi mereka tidak boleh mengungkapkan hal-hal yang tidak adil yang terjadi di masa pemerintah sekarang. Pada tahun 1978 PERWARI pun dipaksa untuk bergabung dengan resmi pada partai pemerintah GOLKAR. Semua organisasi perempuan yang menyimpang dari garis-garis yang telah dijabarkan oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita, Departemen Sosial atau Departemen Dalam Negeri, menghadapi risiko besar. Organisasi-organisasi perempuan yang “independen” telah kehilangan sebagian besar, jika tidak seluruh, kekuatan mereka.

Pemerintah telah menciptakan organisasi-organisasi perempuan yang baru, salah satunya adalah pengelompokan berbagai organisasi perempuan istri pegawai negeri, yang dikenal dengan nama Dharma Wanita (bagi istri pegawai negeri sipil) dan Dharma Pertiwi (bagi istri yang suaminya bekerja di salah satu cabang angkatan bersenjata). Satu organisasi lagi adalah untuk program kesejahteraan keluarga, yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).

PKK didirikan 1957, sebagai program pendidikan untuk kesejahteraan keluarga. Dalam pertengahan dasa-warsa 1960-an istri Gubernur Jawa Tengah saat itu, Ibu Munadi, mempelopori pelaksanaan PKK sebagai bagian dari usaha pembangunan daerah. Sekarang ini PKK terbentuk di seluruh Indonesia. Kegiatannya diperluas sehingga mencakup semua program pemerintah yang ditetapkan untuk kaum perempuan. Tanggung-jawab mengenai program-program PKK ada di tangan Menteri Dalam Negeri. Istri Menteri Dalam Negeri secara resmi menjadi Ketua PKK, sedang suaminya menjadi “penasehat.” Program ini dikoordinasikan melalui, Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita. Selain Aisyah, PKK adalah satu-satunya organisasi yang diperbolehkan bergerak di tingkat desa. Struktur organisasinya bersifat hirarkis ketat. Di tingkat desa istri lurah menjadi Ketua PKK, tidak perduli apakah ia mampu dan berminat melakukan tugas itu atau tidak. Pola ini berlaku di setiap tingkat birokrasi yang lebih tinggi. Organisasi diawasi ketat oleh pemerintah, sehingga pidato-pidato para pimpinannya pun ditulis oleh Departemen Dalam Negeri.

Di bidang ideologi PKK menggalakkan “Panca Dharma Wanita,” yaitu: perempuan sebagai istri pendamping setia suami, ibu pendidik anak dan pembina generasi muda penerus bangsa, pengatur rumahtangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan terakhir sebagai anggota masyarakat yang berguna. Semua kewajiban tersebut hendaknya ditunaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan “kodrat wanita.” Kodrat ini ialah bahwa perempuan bersifat lemah-lembut, tidak berbicara dengan suara keras, dan khususnya tidak mementingkan kepentingan pribadi, tidak mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami dan orang-tua, melainkan menjadi istri yang penurut dan anak perempuan yang patuh.

Dalam prakteknya berarti bahwa kegiatan anggota PKK adalah membuat karangan bunga, jahit-menjahit, masak-memasak, mengikuti penataran-penataran indoktrinasi ideologi negara, dan siap mernbantu pemerintah setiap saat pemerintah memerlukannya. Anggota PKK tidak berjuang untuk hak-hak kaum perempuan, karena resminya kaum perempuan sudah beremansipasi. Berbicara tentang penindasan terhadap perempuan berarti mempertanyakan politik pemerintah, dan ini adalah perbuatan tabu yang menyebabkan orang bisa dituduh berbuat subversi.

Dengan demikian, sebagai organisasi PKK terutama beranggotakan istri-istri pegawai negeri. Atas dasar “kesadaran” para istri, ini harus menyusun rencana-rencana untuk dipertimbangkan oleh para pejabat dari bermacam-macam departemen yang terkait. Rencana ini kemudian diseleksi, disetujui, dan disahkan oleh para suami yang digaji sebagai pegawai negeri. Pada akhir dasa-warsa 1970-an, sewaktu menjalankan penelitian lapangan di Solo, Jawa Tengah, saya menemukan keadaan berikut. Di kecamatan tempat saya melakukan penelitian, istri Camat memimpin rapat-rapat PKK. Ibu Camat secara resmi membuka rapat dan selanjutnya salah seorang anggota pengurus, yang lebih kompeten mengambil-alih pimpinan. Ibu Camat selanjutnya bisa beristirahat sesuka hati, melewatkan waktunya dengan cara yang lebih sesuai baginya daripada memimpin rapat yang tidak santai itu. Tetapi ia duduk di kursi kehormatan dengan mengenakan kain dan kebaya yang paling indah. Maka jelas bagi siapa saja bahwa dialah tokoh yang paling penting di antara mereka. Yang demikian hanya terjadi di dalam rapat-rapat bulanan rutin. Karena pada peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya perayaan hari proklamasi kemerdekaan, suaminyalah yang berpidato utama untuk acara itu, dan ia jugalah tokoh yang paling penting.

Di samping demonstrasi masak-memasak atau kegiatan semacamnya, PKK terutama ikut serta dalam program keluarga berencana.35) PKK juga digunakan sebagai salah satu alat penting untuk mengumpulkan suara bagi GOLKAR dalam pemilihan umum. Camat sendiri akan benar-benar memperhatikan hal ini, karena sedikit-banyak jabatannya tergantung pada jumlah suara GOLKAR yang terkumpul di wilayah kecamatannya. Tujuan penting PKK lainnya, dan lebih mutlak digariskan oleh pemerintah, ialah pengawasan terhadap pegawai negeri yang pangkatnya lebih rendah dan usianya lebih muda melalui istri mereka. Dalam rapat-rapat demikian, anggota PKK dari tingkat yang lebih tinggi boleh dengan cara-cara halus mengingatkan anggotanya dari tingkat yang lebih rendah untuk mengawasi anggota keluarga masing-masing kalau-kalau ada yang menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Banyak ibu muda yang enggan menghadiri rapat-rapat itu karena sekalipun mereka punya kemampuan tertentu, mereka toh tidak akan didengar sama sekali. Tetapi mereka diwajibkan hadir. Suami akan menghadapi bermacam-macam hambatan karir jabatan kalau istri tidak rajin mengikuti kegiatan-kegiatan PKK dan/atau organisasi istri pegawai lainnya yang akan saya uraikan di bawah.

Dengan demikian urusan pokok PKK ialah soal-soal yang langsung menyangkut rumah-tangga, kesehatan, dan pakaian yang patut bagi para anggota .keluarga, pendidikan anak, dan keserasian dalam hidup bertetangga. Perempuan bertanggung-jawab atas ketenteraman keluarga, ketenangan dan ketertiban hidup para anggotanya. PKK tidak hanya digunakan untuk mengajar kaum perempuan menyadari kedudukan mereka yang selayaknya, tetapi juga merupakan salah satu alat yang wajib menjaga agar tidak ada golongan masyarakat yang menentang rezim yang berkuasa. Presiden Soeharto menegaskan hal ini jelas-jelas dalam pidatonya untuk Hari Ibu tahun 1977, ketika ia menyinggung huru-hara mahasiswa yang baru terjadi ketika itu di Bandung. Ia menyerukan kepada para ibu bangsa agar menghentikan “tingkah laku buruk” para pemuda itu.36)

Kecuali PKK yang lebih banyak merupakan program pemerintah untuk perempuan dibandingkan sebagai organisasi perempuan, KOWANI pada tingkat pusat masih merupakan organisasi payung bagi semua organisasi perempuan. KOWANI terdiri atas- dua macam organisasi perempuan: “independen” seperti PERWARI, Aisyah, dan Wanita Katolik dan organisasi-organisasi perempuan istri pegawai. Oleh karena tiap-tiap departemen pemerintah punya organisasi perempuan sendiri, maka karena jumlahnya, organisasi perempuan istri pegawai ini mendominasi KOWANI. Karena mereka juga mendapat bantuan negara, baik politik maupun praktis (misalnya kemudahan transpor, kantor, keuangan, dan lain-lain), maka ini berarti pemerintah menguasai hampir seluruh masalah yang berkaitan dengan organisasi perempuan. Sedikit-banyak sudah saya kemukakan bahwa dalam berbagai hal organisasi-organisasi perempuan “independen” itu dibatasi kegiatannya. Maka tibalah sekarang saatnya saya membahas organisasi-organisasi perempuan istri pegawai.

Pemerintah Soeharto bukanlah yang memulai organisasi-organisasi perempuan ini. Pada masa “Orde Lama,” yaitu akhir dasawarsa 1950-an, beberapa organisasi ini sudah ada, terutama organisasi istri-istri anggota angkatan bersenjata, yang ingin membantu suami mereka dalam menggelorakan kampanye nasional pembebasan Irian Barat, dan kemudian ganyang Malaysia. Keanggotaannya sukarela, dan kegiatannya terbatas. Di berbagai departemen pemerintah berdiri organisasi pegawai perempuan. Keanggotaannya juga sukarela, pimpinan dipilih oleh anggota, dan para perempuan anggota organisasi bersangkutan berjuang untuk hal-hal yang dirasakan sebagai kepentingan mereka. Istri-istri pegawai boleh menjadi anggota, tetapi tidak wajib.

Struktur ini diubah oleh pemerintah “Orde Baru.” Berangsur-angsur diputuskan bahwa istri para pejabat harus menjadi anggota organisasi ini. Keanggotaan menjadi wajib, iuran dipotong otomatis dari gaji suami. Perempuan-perempuan pegawai pemerintah harus masuk KORPRI, organisasi untuk pegawai negeri, dan jika mereka menikah dengan seorang pegawai kantor pemerintah, mereka harus masuk organisasi perempuan pada kantor sang suami. Perubahan terakhir diberlakukan dalam pertengahan dasa-warsa 1970-an, pimpinan tidak lagi berdasar pemilihan, tetapi organisasi harus mengikuti pola hirarki yang sama dengan hirarki pemerintahan: istri kepala kantor dengan sendirinya menjadi ketua organisasi Dharma Wanita di kantor bersangkutan. Dengan demikian, jika suami pindah atau naik pangkat, maka istri pun mengikutinya: masuk dalam organisasi istri di kantor baru sang suami. Jika sang suami pensiun, istri juga harus mundur, tanpa peduli ia masih muda, cakap, dan suka bekerja.

Salah satu contoh ialah restrukturisasi kantor Kementerian Perkebunan. Kaum perempuan yang bekerja di kantor-kantor kementerian ini di Jakarta, yang organisasinya aktif, kecuali melakukan peranan sosialnya juga melakukan segala macam kegiatan serikat buruh demi kepentingan para anggota. Misalnya, organisasi berusaha menentang kecenderungan pegawai laki-laki yang melecehkan kaum perempuan. Setelah Orde Baru berkuasa, organisasi ini sama sekali berubah. Sejak itu anggota organisasi adalah istri orang-orang yang bekerja di kantor tersebut. Perempuan pegawai yang suaminya tidak bekerja di kantor ini tidak lagi berhak menjadi anggota organisasi. Kegiatan yang dilakukan pun tidak lagi bersangkut-paut dengan kepentingan anggota, melainkan lebih banyak berhubungan dengan kepentingan jabatan suami. Dalam waktu senggangnya para anggota disibukkan dengan kursus-kursus merangkai bunga, pameran bergaya dan berbusana, dan berkampanye untuk memenangkan GOLKAR dalam pemilihan umum. Untungnya istri kepala kantor adalah seorang perempuan yang cakap, tetapi ia sendiri pun mati kutu; tidak bisa membuat kegiatan-kegiatan yang paling relevan, baik untuk para pegawai laki-laki maupun untuk para istri mereka.

Semua kantor pemerintah di seluruh Indonesia sekarang ini diseret ke dalam struktur seperti itu, dan semua melakukan kegiatan yang sama jenisnya, sesuai dengan contoh yang diberikan di Jakarta oleh kantor pusat masing-masing. Satu-satunya perbedaan yang dimungkinkan di negeri yang luas dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat beraneka-ragam itu adalah sentuhan budaya yang berbeda di sana-sini, seperti dalam menarikan tari-tarian tradisional atau memainkan alat-alat musik daerah masing-masing.

Pokok persoalan yang dibicarakan tidak lagi relevan bagi kaum perempuan yang bekerja di kantor bersangkutan, karena semuanya ditujukan untuk mendukung lelaki. Secara kolektif dengan menyelenggarakan resepsi-resepsi untuk tamu-tamu penting, secara individual dengan membantu suami dalam jabatannya. Untuk tujuan yang kedua ini diadakanlah kursus-kursus yang meliputi soal-soal seperti bagaimana mengasuh anak agar selalu tenang, sehingga sang bapak bisa bekerja tanpa terganggu.

Tiap departemen pemerintah mempunyai organisasi Dharma Wanita sendiri, yang dinamakan menurut departemen yang bersangkutan. Keempat cabang angkatan bersenjata mempunyai organisasi sendiri, yaitu Dharma Pertiwi, yang fungsinya sama dengan Dharma Wanita. Namun dengan tambahan bahwa mereka harus “menjajakan” operasi rniliter angkatan bersenjata kepada masyarakat. Dalam perang berlarut-larut yang sudah banyak menumpahkan darah, dimana angkatan bersenjata Indonesia memerangi rakyat Timor Timur, dilakukan kampanye-kampanye yang bertujuan menunjukkan bahwa Indonesia mengemban tugas “membangun” wilayah itu. Kampanye seperti ini di mana-mana selalu menunjukkan gambar nyonya-nyonya, dalam busana indah, berjalan susah-payah dengan selop tumit tinggi di jalanan berlumpur pulau itu.

Di tingkat daerah, organisasi perempuan dihimpun bersama di dalam suatu organisasi semacam GOWS (Gabungan Organisasi Wanita Surakarta). Seperti halnya KOWANI pada tingkat pusat, organisasi-organisasi yang bergabung di dalam GOWS dapat dibagi menjadi dua golongan besar. Satu golongan terdiri atas kelompok organisasi istri, dan yang lain adalah kelompok organisasi keagamaan atau organisasi lama yang umumnya nasionalis.

Organisasi istri itu masih terbagi lagi menjadi dua, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Pada akhir dasa-warsa 1970-an sekitar empat puluh organisasi perempuan bergabung dalam GOWS. GOWS mendapat pengawasan ketat dari pemegang kekuasaan tertinggi di Solo, juga dengan perantaraan para istri. Badan pelindung GOWS terdiri atas istri walikota, istri kepala kejaksaan, istri ketua pengadilan negeri, istri komandan militer, dan istri kepala polisi. Para suami mereka adalah anggota semacam badan pemerintahan untuk kota Solo, yang dibentuk sesudah walikota lama yang berhaluan kiri dipecat setelah kudeta 1965. Ingat bahwa istri walikota sekaligus juga ketua PKK dan dengan demikian ia punya wewenang atas semua kegiatan organisasi perempuan di kotanya. Dalam angaran dasar GOWS dinyatakan dengan tegas bahwa anggota tidak boleh membawa masuk pendirian politiknya ke GOWS, dan bahwa anggota yang berbuat bertentangan dengan kepentingan dan dasar negara akan dipecat.37) Anggota salah satu organisasi yang tergabung dalam GOWS itu umumnya berasal dari lapisan menengah atau lapisan atas masyarakat. Sebutan umum yang biasanya ditujukan untuk kaum perempuan dari kalangan ini ialah “kuntilanak wangi.” Mereka pergi kesana-kemari naik becak atau mobil mengenakan busana yang paling bagus, giat menjajakan politik pemerintah sekarang.

Kegiatan mencolok yang pernah saya saksikan pada berbagai kesempatan ialah “etiket show.” Pada satu sisi panggung, perempuan-perempuan mendemonstrasikan bagaimana tingkah-laku dan cara berbusana yang salah bila di lapangan tenis atau mengunjungi istri pejabat tinggi; sedangkan pads sisi lain dipertunjukkan tingkah-laku dan cara berbusana yang benar. Dengan cara demikian kaum perempuan dididik agar bertingkah-laku dengan patut, melaksanakan kegiatan dengan patut, sementara tingkah-laku yang menyimpang akan ditertawakan dan direndahkan.

Baik PKK maupun organisasi-organisasi yang terhimpun dalam GOWS mempunyai kegiatan arisan, yaitu tabungan bersama yang diberikan secara bergiliran dengan diundi. Jumlah yang diserahkan sama untuk setiap anggota, sedang besarnya tergantung pada kedudukan ekonomi anggota dan juga status sosial organisasi, atau tingkatan organisasi. Arisan berfungsi sebagai perkumpulan kredit bergilir. Pada gilirannya setiap anggota menerima jumlah uang yang cukup banyak, satu kali dalam jangka waktu tertentu. Uang arisan itu biasanya dibelanjakan untuk membeli barang-barang yang mempertinggi gengsi, misalnya pakaian yang menarik perhatian, perhiasan, atau pakaian dan mainan anak-anak. Jarang saya dapati uang itu digunakan untuk kegiatan yang mendatangkan hasil.

lstri-istri anggota kepolisian dan kaum perempuan dari organisasi istri lainnya yang suaminya bekerja di lembaga pemerintahan selalu sangat sibuk oleh karena mereka harus menghadiri demonstrasi masak-memasak, ceramah, dan pertandingan-pertandingan PKK juga. Mungkin orang bertanya-tanya mengapa kaum perempuan itu relatif berorganisasi secara berlebihan sementara para birokrat militer malah, berusaha menyatukan berbagai organisasi dari bermacam-macam sektor masyarakat yang lain. Misalnya kegiatan organisasi mahasiswa semakin disalurkan ke dalam satu organisasi tunggal dalam rangka menegakkan hukum dan ketertiban di universitas-universitas yang selalu resah. Gerakan ini dinamakan “normalisasi kehidupan kampus.” Saya berpendapat bahwa berlebihannya organisasi untuk para istri pejabat itu tidak terlepas dari proses bahwa sesudah periode organisasi perempuan sebelum 1965 yang agak militan itu, kaum perempuan harus disubordinasikan kembali. Kaum perempuan sekarang diharuskan menjadi istri yang baik dan penurut, yang mengasuh anak-anak yang taat. Kaum perempuan masa sekarang tidak perlu menjalankan peran penting dalam birokrasi, atau dalam proses “pembangunan.” Oleh karena para pejabat laki-laki sudah menjalankannya, dan pengangguran laki-laki pun meningkat jumlahnya. Tidak ada perlunya perempuan membantu politik kiri yang tertuju kepada kaum miskin, karena semua kegiatan diarahkan untuk mendukung birokrasi militer yang gigih menjalankan politik kapitalis.

Akan tetapi karena secara tradisional kaum perempuan Indonesia itu aktif, tidak seorang pun bisa membungkamnya begitu saja. Maka lebih baik membuat mereka sibuk dengan urusan bunga, salad buah, sambil mengukuhkan kedudukan subordinasinya dalam masyarakat.

Keharusan kaum perempuan melakukan kegiatan di cabang-cabang Dharma Wanita atau Dharma Pertiwi tempat mereka menjadi anggota karena pekerjaan suami telah menjadi masalah besar bagi perempuan yang juga menjadi anggota organisasi perempuan lain. PERWARI adalah yang paling merugi kehilangan sangat banyak anggotanya, karena banyak anggotanya bersuami birokrat. Aisyah tidak begitu banyak kehilangan anggota, karena umumnya anggotanya berasal dari kalangan pedagang kecil dan pengusaha Muslim.

Organisasi-organisasi perempuan independen dalam berbagai hal juga bertingkah seperti burung elang di sarang organisasi-organisasi perempuan tradisional. Jika mereka tidak berhasil menjinakkan organisasi-organisasi independen itu, mereka berusaha menelannya habis ke dalam perutnya. Di sana-sini mereka berhasil, seperti yang terjadi dengan organisasi-organisasi kecil di kampung-kampung di Bukittinggi, Sumatra Barat. Tetapi di sana-sini mereka tidak berhasil mencapai tujuannya. Misalnya di Malang, koperasi perempuan Setia Budi Wanita mampu bertahan terhadap usaha berkali-kali dari Dharma Wanita untuk menelannya.

Penutup

Berbeda dari apa yang terjadi di berbagai negeri Dunia Ketiga lain, dimana gerakan perempuan giat di kalangan rakyat jelata (misalnya di India, Karibia, Meksiko, dan Peru), di Indonesia dewasa ini gerakan perempuan masih terbatas pada lapisan menengah dan atas masyarakat. Kalau pun perempuan miskin terkait di sana, mereka umumnya sebagai obyek politik tertentu belaka, seperti misalnya dalam program keluarga berencana, dan tidak menjadi peserta yang berperan aktif. Keluh-kesah apapun yang diungkapkan sehubungan dengan situasi sosial dan ekonomi yang sulit, dan terutama mengenai bagaimana hubungannya dengan subordinasi kaum perempuan, akan dicap sebagai berpolitik. Keluh kesah demikian berimplikasi semangat kiri, dan “kiri” dalam hubungan dengan “kaum perempuan” akan menimbulkan berbagai kesulitan yang disangkutpautkan dengan pesta-pora seks dan upacara pembunuhan. Demikianlah rezim militer menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menciptakan pembenaran bagi kelangsungan tindakan represinya, tidak saja terhadap kaum perempuan tetapi juga terhadap golongan tertindas lainnya. Inilah salah satu alasan penting mengapa di Solo saya tidak bisa berhubungan dengan satu organisasi perempuan pun yang bisa saya ajak bekerja-sama dan memberikan pendapat mengenai hasil-hasil penelitian yang saya peroleh dari para perempuan buruh batik.

Dari sudut politik, organisasi-organisasi perempuan, seperti halnya semua organisasi massa, telah kehilangan kekuatan atau pengaruhnya yang pernah dimiliki selama periode perjuangan kernerdekaan nasional atau selama tahun-tahun pertama republik merdeka di bawah pemerintahan Presiden Sukarno. Hilangnya pengaruh ini terjadi ketika perjuangan kemerdekaan nasional akhirnya selesai, dan partai-partai besar di Indonesia berhasil memperoleh kekuasaan politik di negeri ini.

Untuk sementara waktu Indonesia pernah sangat radikal, tetapi terutama dalam politik internasional anti-imperialisnya, bukannya politik nasional dalam negeri. Dalam hal ini Angkatan Darat dan partai-partai Islam reaksioner berhasil menggagalkan setiap usaha untuk memperluas pembebasan atau emansipasi golongan-golongan lain selain kaum laki-laki yang berkuasa. Sesudah perebutan kekuasaan tahun 1965, ditegakkanlah suatu pemerintahan birokratik-militer yang kuat, yang dengan efektif menindas dan menghancurkan semua gerakan kiri, termasuk organisasi massa perempuan, GERWANI. Dewasa ini organisasi perempuan diawasi dengan ketat, dan mutlak harus menjalankan politik pemerintah.

Seperti kebanyakan organisasi perempuan di berbagai negeri lain di dunia, gerakan perempuan Indonesia pada paruh pertama abad ini mendapatkan sebagian besar anggotanya dari kalangan perempuan elit. Perjuangan untuk reformasi undang-undang perkawinan terutama merupakan kepentingan kaum perempuan kalangan elit priyayi (bangsawan birokrat Jawa), dan golongan-golongan borjuasi masa sekarang. Namun demikian sebelum pendudukan Jepang, yang diteruskan pada masa Presiden Sukarno, dilakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk kepentingan kaum perempuan miskin juga. Kegiatan ini terutama dilakukan oleh GERWANI dan Wanita Marhaen. Sekarang, organisasi perempuan “independen” yang punya hubungan yang berarti dengan golongan miskin masyarakat Indonesia nyaris hanya organisasi perempuan Islam Aisyah saja. Namun golongan ini tidak diperbolehkan menyuarakan tuntutan sosial atau ekonomi apapun, selain yang bersifat amal. Selama itu, pandangan Aisyah mengenai peranan kaum perempuan dalam masyarakat agak kuat dipengaruhi oleh ajaran laki-laki Islam ortodoks; misalnya mereka tidak pernah memperjuangkan salah satu di antara masalah paling penting gerakan perempuan di Indonesia, penghapusan poligini.

Melalui organisasi-organisasi istri dan PKK, kaum birokrat militer yang berkuasa berusaha menguasai kaum perempuan dan laki-laki lapisan bawah dalam hirarki pemerintahan di Indonesia. Anggota-anggota lapisan bawah dan berusia muda dalam organisasi-organisasi ini sering merasa jengkel karena harus ikut serta dalam kegiatan karena mereka hampir-hampir tidak punya pengaruh apapun pada apa yang terjadi dalam organisasi. Namun demikian, mereka dibebani tekanan sosial yang berat, juga melalui suami mereka, untuk hadir dalam rapat-rapat dan ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan.

Pada pihak lain, bagi kaum perempuan elit dan pimpinan organisasi perempuan, peran-serta mereka punya fungsi sosial tertentu. Status sosial mereka dipertinggi dan diperkokoh, dan mereka satu sama lain punya segala macam kontak sosial. Bagi sebagian besar mereka bahkan juga punya fungsi ekonomi: perdagangan batik dan perhiasan yang sangat sangat menguntungkan berlangsung di kalangan elit perempuan Indonesia ini. Banyak istri pegawai yang bergaji kecil berusaha membantu menambah pendapatan sang suami dengan cara ini. Pada pihak lain istri para pengusaha kaya, melalui hubungan mereka dengan perkumpulan-perkumpulan perempuan tingkat atas itu kadang-kadang bisa mendapatkan pertolongan tertentu di tengah-tengah belantara birokrasi, untuk kelangsungan usaha dagangnya sendiri atau usaha dagang suami.

Dengan demikian melalui kombinasi pengukuhan subordinasi kaum perempuan secara terorganisasi dan rezim kapitalis militer yang represif, kaum perempuan di semua lapisan masyarakat Indonesia itu dikontrol. Bentuk struktur hirarkis organisasi-organisasi perempuan di Indonesia dewasa ini memudahkan pengekangan kaum perempuan miskin. Karena itu “kuntilanak wangi,” sebutan populer untuk organisasi-organisasi istri itu, menjadi alat penindas terhadap sesama saudari yang miskin, dan bukannya membantu mereka, yang sekaligus memperkokoh subordinasi para anggota mereka sendiri.

Kaum perempuan Indonesia selalu berperan aktif di dalam proses produksi sosial. Karena itu dirasa sangat layak bahwa kaum perempuan harus dengan secara terorganisasi dilibatkan dalam segala macam kegiatan yang bersangkutan dengan fungsi kaum perempuan dalam masyarakat. Lagi pula, di masa lalu yang belum lama berselang, kaum perempuan berorganisasi dalam skala besar-besaran untuk memperjuangkan kepentingan yang mereka rumuskan sendiri. Kepentingan-kepentingan ini tidak didukung oleh kaum laki-laki pemegang kekuasaan dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu kepentingan umum perempuan harus dirumuskan kembali, dan kaum perempuan harus disubordmasikan kembali. Dan adakah struktur yang lebih baik untuk resubordinasi kaum perempuan selain organisasi-organisasi perempuan?



Sumber: http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/

~ oleh Anti Capitalism di/pada Februari 29, 2008.

0 comments: