”PERJALANAN SEBAGAI DASAR PERJUANGAN PARTAI, BANGSA & NEGARA”
"Cita-cita Indonesia Merdeka Dapat Dicapai Melalui Perdjoeangan, Perdjoangan dan Sekali Lagi Perdjoeangan " (Bung Karno, Lahirnya Pancasila 1 juni 1945)
PDI Perjuangan sudah menetapkan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai basis ideologi perjuangannya, dituntut untuk dapat mengejewantahkan nilai yang terkandung di dalamnya, terutama tentang pemahaman Pancasila yang sebenar-benarnya sesuai makna filosofis serta tujuan dari digalinya Pancasila itu sendiri. Apalagi ditengah pergulatan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah memasuki babak penuh tantangan serta dinamika atas konstelasi global yang semakin menyudutkan kepentingan bangsa Indonesia, khususnya cita-citanya.
Menyambut hari Lahirnya ”PUTRA SANG FAJAR” yang ke 107 (6 Juni 1901-6 juni 2008), menjadi keniscayaan terhadap reaktualisasi Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi perjuangan partai yang digali oleh Bung Karno, baik proses gagasannya dari Marhaenisme maupun pada saat kelahiran Pancasila melalui pidatonya di depan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Mengapa demikian? proses deideologisasi yang berlangsung puluhan tahun dibawah kepemimpinan rejim boneka imprealis orde baru (Soeharto) bukan saja mengaburkan makna mendasar dari Pancasila 1 Juni 1945, namun juga telah membunuh karakter dari ideologi itu sendiri, Pancasila selama ini hanya dijadikan sebatas dongeng belaka melalui P4 alias Ekaprasetya Pancakarsa yang tidak merupakan tafsir dan tidak dimaksud menafsirkan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945, tetapi hanya dijadikan sebagai pendekatan formalistik saja, serta sebagai alat represi negara untuk membungkam komunitas masyarakat kritis. Sehingga dalam realita kehidupannya mengalami kontradiksi yang berlawanan, ini menjadi tugas sejarah bagi PDI Perjuangan sebagai salah satu komponen bangsa yang memiliki komitmen terhadap masa depan bangsa Indonesia.
Seringkali Bung Karno menyatakan bahwa "jangan warisi abunya, tetapi warisi apinya" maka dalam konteks Pancasila l Juni 1945, seyogyanya dapat melihat dari latar hisorisnya, terkait dengan proses revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 dan perjalanan panjang bangsa Indonesia ke belakang. Dalam menyiapkan Indonesia merdeka, Bung Karno telah mengemukakan gagasannya pada pidato 1 Juni 1945 tentang dasar negara Indonesia merdeka, sebagaimana yang diminta oleh Ketua sidang BPUPKI, dimana dalam gagasannya disebutkan tentang Pancasila sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa dan hasrat (philosofische grondslag) bagi bangsa Indonesia. Karenanya fundamen di dalam Pancasila sebagai dasar negara yang dimaksud sudah ada di dalam bumi Indonesia jauh lamanya. Sejarah bangsa Indonesia mendapatkan pelajaran dari keberhasilan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang telah menunjukkan kemampuannya untuk mempersatukan nusantara dengan beragam latar belakang etnis, suku, dll. Demikian pula bahwa sejarah bangsa Indonesia menunjukkan fakta tentang kegagalan perjuangan masing-masing daerah yang bergerak secara primordial tatkala melawan penjajah. Dengan demikian dapat ditarik titik simpul pikiran bahwa hanya dengan persatuan Indonesia yang sejati dapat melawan penjajah dan dapat merdeka.
Bung Karno mengemukakan beberapa hal di dalam Pancasila, kaitannya terhadap tujuan mencapai kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat. Melalui pengaturan sistem demokrasi Indonesia, artinya suatu sistem demokrasi yang tidak meniru demokrasinya negara lain, tetapi bentuk demokrasi yang sesuai dengan karaktersirtik masyarakat Indonesia, yaitu tidak saja demokrasi politik akan tetapi juga demokrasi ekonomi. Tidak seperti yang diibaratkan Bung Karno, dalam Revolusi Perancis, yang mengatasnamakan kepentingan rakyat Perancis tetapi pada hakikatnya hanya menguntungkan kepentingan pemilik modal/ menengah, artinya hanya akan melahirkan bentuk penindasan baru melalui rejim sistemnya yang diskrimatif pada penguasaan akses politik rakyat kebanyakan, karena latar kondisi penguasaan ekonomi yang tidak merata. Sedangkan yang dimaksud dalam Pancasila, demokrasi yang diterapkan di Indonesia juga menyangkut tentang demokrasi ekonomi, artinya kesamaan hak dan kewajiban bukan saja di lapang politik tetapi juga di lapang ekonomi guna mencapai kesetaraan sosial. Hal inilah yang yang menjadi substansi pembangunan sistem bernegara yang adil untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dalam Sosialisme Indonesia yang keberadaannya di seberang jembatan emas kemerdekaan, sekaligus sebagai pengejawantahan tata nilai tentang Negara Gotong Royong yang memanglah sudah menjadi konsepsi politik kenegaraan Indonesia dengan sokongan dari nilai tradisi yang ada dalam arus kehidupan masyarakat di Indonesia.
Jauh sebelumnya Bung Karno sudah mencanangkan tentang teori perjuangan bagi bangsa Indonesia yaitu Marhaenisme, yaitu sebuah teori yang BERTUJUAN untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penindasan dan penjajahan. Konsep pembebasannya adalah berupa perlawanan terhadap sistem kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme yang menindas, padahal rakyat memiliki alat produksi. Untuk itulah Bung Karno mendefinisikan rakyat Indonesia sebagai kaum marhaen dengan para pejuang-pejuangnya yang memegang teguh api marhaenisme sebagai marhaenis, selaras dengan konsepsi yang di gagas tentang Pancasila. Jadi antara marhaenisme dengan Pancasila adalah sama dan pemerasannya dinamakan gotong royong, sehingga dapat disimpulkan bahwa gagasan yang ada di dalam Pancasila sangat revolusioner dan maju ke depan.
Di dalam Indonesia merdeka perjuangan harus berjalan terus, perbedaan dengan masa sebelum kemerdekaan adalah hanyalah pada sifat dan coraknya, sehingga bangsa Indonesia berjalan menuju apa yang di cita-citakan di dalam Pancasila itu sendiri. Jika pada prakemerdekaan para pendiri bangsa telah menanamkan pondasinya berupa dasar negara maka saatnyalah di era pasca kemerdekaan bangsa Indonesia dapat mewujudnyatakan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bung Karno bahwa perjuangan bagi bangsa Indonesia terus berjalan, karena semakin hari, bentuk perjuangannya mengalami dinamika dan dialektikanya, oleh karenanya sering kali Bung Karno menyatakan bahwa REVOLUSI INDONESIA BELUM SELESAI. Karena memanglah kenyataannya Revolusi Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur di dalam Sosialisme Indonesia belumlah tercapai, tantangan akan hal tersebut semakin berat. Jika pada saat proses kemerdekaan yang dihadapi adalah bentuk peperangan fisik maka setelah itu bentuknya adalah melalui penjajahan atau peperangan dengan bentuk baru yaitu globalisme.
Ratusan tahun penjajahan yang membelenggu bangsa Indonesia telah membentuk karakter sebagai bangsa yang tertindas, bukan saja tertindas karena fisik akan tetapi juga tertindas secara mental. Hal ini kemudian yang menjadi salah satu sebab mengapa sulitnya bangsa Indonesia untuk keluar dari belenggu penjajahan, apalagi dengan latar belakang yang multi etnik dimana ada potensi terjadinya pemecah belahan. Oleh karenanya Bung Karno mensyaratkan bahwa salah satu untuk dapat mencapai Indonesia merdeka adalah persatuan. Kemerdekaan yang dicetuskan pada 17 Agustus 1945 adalah sebagai manifentasi dari pra kondisi bagi bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya yang sejati. Di seberang jembatan emas akan disusun masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, serta sebagai lompatan paradigma guna membebaskan rakyat Indonesia dari mental terjajah, terbelakang, serba salah, dll. Pembangunan karakter bangsa (nation & character building) adalah jawaban terhadap bentuk perjuangan bangsa Indonesia, karena pembangunan secara fisik tidak akan berjalan secara baik jika tidak berangkat dari pembangunan watak bangsa.
Neo kolonialisme dan imprealisme (nekolim) merupakan manifestasi ancaman ideologis bagi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa bentuk penjajahan akan mengalami perubahan bentuknya. Sasaran ancaman jelas akan meliputi pada kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Setelah kaum nekolim gagal merealisasikan agenda hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 19-22 Juli 1949, diantaranya tentang pengakuan terhadap Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari beberapa negara boneka bikinan Belanda, dll, maka intensitas agresi negara imprealis terhadap Indonesia semakin gencar.
Orde Baru berdiri berkat konspirasi jahat antara kekuatan nekolim dan kompradornya di dalam negeri. Proyek besarnya adalah melakukan de-Ideologisasi sekaligus de-Soekarnoisasi, dengan maksud tujuan guna dapat mempraktekkan kepentingan-kepentingan pemilik modal di bumi pertiwi, karena dengan potensi kekayaan yang teramat besar maka Indonesia menjadi tempat yang sangat potensial untuk dieksploitasi. Bahkan tidak itu saja dengan jumlah penduduk yang cukup besar juga dapat di proyeksikan sebagai pangsa pasar bagi produk kapitalis yang menggiurkan. Sehingga tidak heran jika Soeharto sebagai sang operator dan komprador nekolim memimpin kekuasaan di Indonesia dengan memberlakukan kebijakan negara tentang program kerjasama investasi asing di Indonesia, tujuan konstitusionalnya (yang sudah dikebiri) adalah seolah-olah untuk memperbaiki perekonomian di Indonesia, meskipun diketahui bahwa hal tersebut hanya melahirkan eksploitasi/ penghisapan terhadap sumber daya yang ada. Dapat terlihat investasi tersebut bukan untuk membentuk pondasi perekonomian Indonesia tetapi untuk membiayai program eksplorasi yang hasilnya sangat timpang komposisi distribusinya alias tidak adil, beberapa contoh dapat dilihat yaitu Freeport, Exxon Mobile, gas alam, dll.
Dalam rangka mengamankan perputaran dan pengelolaan modal di dalam negeri maka sistem kekuasaan orde baru berorientasi pada stabilitas nasional, niscaya rakyat dibutakan akan politik, melalui jargon ekonomi yes, politik no sehingga yang dilahirkan adalah budaya apatisme dan konsumerisme belaka. Pola pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan melalui konsep kapitalisme neoliberal yaitu triccle down effect, hanya menghasilkan segelintir orang-orang kaya yang menguasai asset yang seharusnya untuk hajat hidup rakyat banyak.
Ketimpangan yang semakin melebar dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dengan krisis multi dimensional sebagai prestasi puncaknya. Dalam konteks ini Pancasila selalu dijadikan sebagai tameng dan simbol kekuasaan negara, segala bentuk sikap kritis yang ditunjukkan oleh anak bangsa selalu dihadapi dengan tindakan represif dengan alasan melawan Pancasila. Segala kebijakan politik yang menindas serta membungkam hak rakyat dianggap sebagai bentuk pengamalan Pancasila, kemudian segala kebijakan ekonomi yang hanya mementingkan kaum imperialis dan pemilik modal dianggap sebagai bentuk pengamalan Pancasila, serta segala bentuk dekadensi moral serta kemerosotan budaya hanya dianggap sebagai hal lumrah akibat pembangunan dan perkembangan globalisasi. Sehingga bentuk penyimpangan terhadap Pancasila yang harusnya berfungsi sebagai pedoman perjuangan bagi bangsa Indonesia yang bebas dari belenggu penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya pada akhirnya menjadi kabur pemaknaannya. Orde baru telah memanipulasi terhadap makna sesungguhnya Pancasila, masyarakat dijejali dalam waktu yang sedemikian lama sampai puluhan tahun sehingga sulit untuk membedakan, mana yang salah apakah Pancasilanya ataukah pelaksananya yaitu rejim orde baru?
Upaya untuk menghancur leburkan ideologi bukan saja melalui pembunuhan karakter tata nilainya tetapi juga melalui pemberangusan simbol-simbol yang dianggap sebagai representasi dari kekuatan-kekuatan ideologis. Dari penerapan TAP MPRS XXV & XXXIII/1967 tentang pelarangan terhadap ajaran ideologi tertentu dan kekuasaan Soekarno, sampai terjadinya penerapan kebijakan diskriminatif terhadap siapapun yang dianggap memiliki hubungan dengan proses ideologisasi masa lalu.
Ideologi atau cita-cita perjuangan partai dapat DIRUMUSKAN bentuk praksisnya berupa pendidikan politik rakyat, membangun mekanisme dan struktur partai, mengembangkan sistem rekrutmen dan promosi kader, memenangkan pemilu dan cita-cita perjuangan lain yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, sehingga dapat mencapai tujuan sasarannya yaitu kekuasaan guna mencapai cita-cita perjuangan ideologi. Dengan demikian pada akhirnya kader partai tidak saja memahami secara pengetahuan saja, akan tetapi dapat membumikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang nyata.
Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan Bung Karno pada tahun 1927 untuk digunakan sebagai alat perjuangan mencapai Indonesia merdeka dengan azas perjuangannya yaitu non koperasi. Sehingga pada akhirnya hal ini menjadi spirit kaum pergerakan saat itu, sebagai letupannya yaitu kongres pemuda pada tahaun 1928 yang mengikrarkan tentang satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia. Meskipun perjuangan kemerdekaan mendapatkan represi dari pemerintahan kolonialis, namun semangat perlawanan yang heroik patriotik tetap dilakukan, dimana di suatu kesempatan ketika Bung Karno dalam pembelaan di pengadilan atas dirinya di tahun 1930-an, mengemukakan pledoinya dengan judul Indonesia menggugat, yang berisikan tentang penelanjangan bentuk kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme yang sangat menindas serta menghisap bangsa Indonesia.
Dalam proses perjuangannya menuju Indonesia merdeka, Bung Karno juga mempertegas definisi terhadap Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme dengan maksud ingin lebih mempertegas lagi tentang basis sosial partainya yaitu kaum marhaen, dengan marhaenisme sebagai ideologi perjuangannya serta para pejuangnya sebagai marhaenis. Yang kemudian pada saat menyiapkan kemerdekaaan Indonesia melalui pidatonya pada 1 Juni 1945 tentang dasar Negara mengemukakan gagasannya tentang Pancasila yang termaktub di dalam UUD 1945.
Dalam rangka membangun front internasional guna menghadapi kekuatan imperealis dan dalam rangka mendorong pembebasan kemerdekaan negara-negara di Asia-Afrika, maka pada tahun 1955 diadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung yang melahirkan dasa sila Bandung. Di satu sisi KAA tersebut sebagai media penyebaran Pancasila terutama tentang semangat kemerdekaannya, yang juga akhirnya menyebar ke negara-negara di Amerika Latin. Hal ini terus menjadi semangat perjuangan yang dikobarkan oleh Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno sehingga keberadaan bangsa Indonesia di sisi lain menjadi tinggi karena menjadi kiblat kekuatan di dunia, ditengah makin semaraknya perang dingin antara blok barat dan blok timur.
Secara langsung maupun tidak langsung Pancasila merupakan peningkatan nilai ke jenjang yang lebih tinggi atau sublimasi sekaligus sintesa dari 2 kutub ideologi besar di dunia, yaitu "The Declaration of Independence" dan "Manifesto Komunis", sehingga Pancasila kala itu ditawarkan sebagai nilai yang dapat di adopsi oleh semua negara bangsa di dunia dengan menciptakan tatanan masyarakat di dunia dengan perdamaian serta tanpa penindasan dan penghisapan.
Senafas dengan hal ini, maka Bung Karno hendak menempatkan Pancasila tidak hanya sekedar menjadi dasar Indonesia merdeka namun dapat digunakan secara universal. Dalam suatu kesempatannya di Sidang Umum PBB pada tahun 1960 Bung Karno menyampaikan tentang pokok-pokok pikiran tentang Pancasila yang dapat disimpulkan, bahwa politik luar negeri Indonesia mencerminkan satu konsepsi nasional yang berasaskan Pancasila dengan cita-cita Internasionalisme untuk kesejahteraan dunia, perdamaian dunia, persaudaraan dunia yang di dukung oleh seluruh Rakyat Indonesia. Kemudian juga disebutkan bahwa politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif yaitu politik yang memihak kemerdekaan dan perdamaian melawan imprealisme, kolonialisme dan perang agresif, serta bertujuan menghimpun semua kekuatan progresif di dunia dalam satu front internasional guna tercapainya persamaan kedaulatan bagi semua bangsa dengan menggunakan hak-hak asasi manusia dan hak-hak asasi nasional. Pancasila juga ditawarkan untuk dijadikan sebagai Piagam PBB karena Pancasila dianggap dapat memberikan jaminan kepada pemecahan soal-soal antara manusia dengan manusia, dan bangsa dengan bangsa. Dengan demikian cita-cita untuk membangun dunia kembali akan sukses
Ditengah semakin berkembangnya pola kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengarah pada kerapuhan pondasi pembangunan bangsa yaitu karakter bangsa sebagai dampak langsung dari penerapan sistem kapitalisme yang konsumtif, maka niscaya struktur berfikir masyarakatpun demikian. Kesadaran akan ideologi yang pada hakikatnya adalah berpihak terhadap kepentingan rakyat luas serta menghormati keberagaman nampaknya semakian mengalami kepudaran. Lompatan paradigma yang pernah menjadi gagasan revolusioner dari Bung Karno pada saat memerdekakan bangsa Indonesia dengan hakikat pemaknaannya untuk pembebasan dari belenggu bangsa yang terjajah dan terbelakang, ternyata kini mengalami pembiasan yang luar biasa. Nation and characterbuiding sebagai manifestasi dari revolusi pemikiran yang berjalan selama 20 tahun pasca kemerdekaan ternyata mengalami pukulan mundur yang sangat telak, sehingga kinipun dapat diperlihatkan secara nyata bahwa perjuangan politik kenegaraan terkesan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat luas nan tertindas. Pun kemudian dapat hal yang lumrah dilihat bahwa pada saat ini bangsa Indonesia tidak lagi memiliki kepercayaan diri dan merasa rendah diri serta rendah tawar dalam pergaulan antar bangsa-bangsa. Indonesia yang konon katanya pernah mengalami pola pembangunan berorientasi pertumbuhan kini tak ubahnya menjadi ladang bagi kuli di negeri sendiri, persis yang pernah disampaikan Bung Karno pada tanggal 17 agustus 1964 sebagai bahayanya akibat ketergantungan terhadap negara asing.
Reaktualisasi Pancasila sebagai kewajiban ideologis anak bangsa menjadi keharusah sejarah. Pancasila yang selama ini menjadi dongeng rejim boneka imperialis orde baru untuk menindas rakyatnya harus dipertegas makna sosialnya. Artinya penerjemahan Pancasila haruslah mengarah pada ideologi kerja dan gerakan yang mampu rnembuktikan secara nyata serta konkret akan tujuan pokok semulanya yaitu sebagai teori perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi alat persatuan dan pembebasan. Apalagi saat ini ditengah hegemoni globalisme yang semakin besar maka perjuangan Pancasila secara ideologis seraya menemukan momentumnya. Fenomena gerakan terorisme yang senantiasa mengatasnamakan agama harusnya kita dapat menjernihkan pemaknaannya yaitu tentang adanya ketidakadilan di muka bumi yang semakin menghegemoni. Secara praksis kekuatan ideologis Pancasila dapat membangun front persatuan perjuangan sesama kekuatan yang anti segala bentuk penindasan melalui pengidentifikasian bentuk kerja dalam segala dimensi serta aspeknya, baik di sektor ekonomi, politik, hukum, budaya, sosial, dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian kita dapat membangun antusiasme masyarakat secara gegap gempita yang pada akhirnya menjadi sarana untuk penggalangan kekuatan (machtvorming) dan penggunaan kekuatan (machtanwending).
Globalisme semakin menancapkan kepentingan di segala sektor, diantaranya produk aturan main kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti halnya yang terlihat salah satu indikatornya dalam perubahan 1,2,3,4 (amandemen) UUD 1945. Dimana di dalamnya dipandang sangat berbau kepentingan neoliberalisme. Perdebatannya yang berkembang selama ini di publik bahwa di batang tubuh yang mengalami perubahan (amandemen) memiliki pemaknaan yang tidak selaras lagi dengan pembukaan UUD 1945, artinya hal ini secara fundamen telah mengikis eksistensi nilai perjuangan ideologi Pancasila sebagai dasar negara yang selama ini telah menjadi rohnya UUD 1945 dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia.
Namun demikian di tengah kegersangan dan keringnya penyejuk perjuangan, masih ada denyut nadi perjuangan yang semakin bergerak secara perlahan tapi pasti. Salah satunya adalah melalui keberadaan partai sebagai oposisi politik bagi penguasa rejim pemerintahan nasional saat ini, cukup mempertegas dan memperjelas posisinya untuk berpihak pada kepentingan rakyat. Usaha-usaha perjuangan yang nyata menjadi kebutuhan mendasar bagi rakyat sehingga tatkala interaksi dapat dibangun antara massa rakyat dengan partai maka proses transformasi pokok-pokok pikiran secara ideologis dapat berlangsung secara lebih efektif. Indonesia yang tujuan semulanya adalah membangun negara kesejahteraan yang berkeadilan, bukan negara perusahaan harus mendapat ruang kampanye secara luas disertai penelanjangan daripada PRAKTEK-PRAKTER KOTOR neoliberalisme yang notebene sebagai manifestasi kapitalisme global, yang telah melahirkan globalisasi kemiskinan dan penindasan struktural. Sehingga dapat bergerak lurus sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur di dalam Sosialisme Indonesia.
MENGALIRLAH SEPERTI AIR !!!
MERDEKA !!!
0 comments:
Post a Comment