TEGUHKAN MARHAENISME SEBAGAI IDEOLOGI PERJUANGAN
Atas dalih untuk mengamankan kepentingan bangsa dan negara maka Soeharto dengan para pengikutnya menjadikan peristiwa G30S 1965 sebagai momentum politik untuk memperoleh kekuasaan pemerintah nasional. Peristiwa yang biasa disebut oleh Bung Karno yaitu “GESTOK” singkatan dari Gerakan Satu Oktober tersebut sampai saat ini masih menyimpan banyak misteri. Tetapi yang jelas, keuntungan besar yang didapatkan pasca peristiwa tersebut diperoleh adalah kekuatan kapitalisme global yang memanglah sangat terganggu kepentingannya oleh garis kebijakan Presiden Soekarno yang sangat anti imperialisme.
Kenyataan sejarah yang tak dapat dipungkiri dan tentunya tidak mungkin dibohongi, adalah arah kebijakan pemerintah orde baru yang mendapatkan kekuasaan dari Presiden Soekarno jelas-jelas telah menghasilkan kemerosotan derajat dan martabat bangsa Indonesia. Khususnya dalam jati diri bangsa yang sudah dibangun sejak pra kemerdekaan. Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian bangsa terkoyak-koyak. Semuanya tentu berangkat atas dasar arah kebijakan orde baru yang telah merelakan dirinya disetubuhi oleh kepentingan kapitalisme global, semuanya demi kepentingan kekuasaan sesaat dan kepentingan segelintir orang.
Marhaenisme yang menjadi ideologi perjuangan bangsa Indonesia pada saat pra kemerdekaan, dan digagas oleh Bung Karno untuk memerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, serta menjadi roh dan cikal bakal lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 yang kemudian menjadi landasan perjuangan bangsa Indonesia, kini telah kabur pemaknaannya tak tentu rimbanya. Semuanya sekali lagi karena kebijakan politik orde baru yang SANGAT ANTI AJARAN BUNG KARNO.
Dimulai dengan situasi yang tak menentu pasca G30S 1965, Soeharto telah memainkan perannya dalam kudeta merangkak tersebut. Setelah adanya konflik horizontal atau pembunuhan massal yang ditengarai direkayasa oleh kekuatan orde baru. Maka ketidakpastian situasi membuat posisi Bung Karno secara politik semakin tersudut, akhirnya di suatu kesempatan Soeharto mendapat Surat Perintah (SP) 11 Maret 1966, yang seharusnya untuk memulihkan situasi supaya tetap terkendali dan melaporkan tindakan pengamanannya kepada Presiden Soekarno. Tetapi kenyataannya SP 11 Maret 1966 tersebut digunakan Soeharto untuk merebut kekuasaan Presiden Soekarno. Oleh karena khawatir SP 11 Maret akan dicabut kembali oleh Presiden Soekarno, karena telah dimanipulasi Suharto sebagai "pelimpahan kekuasaan", maka AH Nasution yang telah menjadi Ketua MPRS, dengan menghalalkan segala cara demi naiknya Suharto, maka buru-buru SP 11 Maret itu dibawanya ke SU MPRS. Pada tanggal 21 Juni 1966, keluarlah TAP MPRS No. IX/1966 mengenai SP 11 Maret dan pada tanggal 5 Juli 1966, keluarlah TAP MPRS No. XXV/1966.
Dengan menggunakan TAP MPRS No. XXV/1966 sebagai senjata canggih atau pemungkas, maka MPRS pimpinan Nasution berhasil mengeluarkan Ketetapan TAP MPRS No. XXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan Ketetapan MPRS No. XXXVI/1967 yang menyudahi ajaran-ajaran Bung Karno. Dengan TAP MPRS No. XXIII/1967 maka secara definitif kekuasaan tidak lagi pada Presiden Soekarno dan penggulingan Presiden Soekarno, yang dilakukan secara merayap oleh Suharto telah berhasil.
Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam kesempatan peringatan Hari Lahirnya Pancasila ke-63, Hari Lahirnya Putra Sang Fajar ke-107 dan Haul Bung Karno ke-38 ini perlu untuk mempertegas hal sebagai berikut yaitu :
1) Mencabut TAP MPRS XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno beserta TAP-TAP lainnya yang bermuatan diskriminatif terhadap Bung Karno yang merupakan Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, serta terhadap komponen anak bangsa lainnya
2) Meneguhkan kembali Marhaenisme yang merupakan cikal bakal lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, sebagai ideologi perjuangan yang sudah terbukti mampu menyalakan api kemerdekaan bangsa Indonesia dan membebaskan sejarah bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, serta menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari suku-suku bangsa.
3) Menggalang persatuan front progresif dalam massa aksi revolusioner untuk melawan praktek-praktek kotor kapitalisme dan imperialisme dan segala bentuk manifestasinya untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kerpurukan serta kemerosotan derajat dan martabat bangsa Indonesia, baik fisik maupun mental.
MERDEKA !!!
Blitar, 20 Juni 2008
Pemateri :
• Sekretaris DPC PDI Perjuangan Jakarta Timur
• Kepala Divisi Agitasi & Propaganda Front Perjuangan Rakyat (FPR)
0 comments:
Post a Comment