Rekam jejak...

Biografi singkat

DWI WIJAYANTO RIO SAMBODO, SE., MM, akrab disapa Rio, adalah putra kedua dari 3 putera pasangan Harlyanto Klasri dan RA Rustiyati. Dilahirkan di Jakarta 29 Juni 1975, dibesarkan di Ibukota, telah membentuk wataknya sebagai Anak Jakarta. Ayahnya adalah pensiunan Departemen Kesehatan, dilahirkan di tanah Kutuarjo, Jawa Tengah. Sedangkan Ibunya bergelut di bidang Pendidikan Anak yaitu Kepala Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Trisula, terakhir menjabat sebagai Kepala Sekolah TK Mutiara Indah yang didirikannya sejak tahun 1983, dilahirkan di tanah Yogyakarta.

JEJAK KEPEMIMPINAN & BAKAT PERJUANGANNYA, dimulai sejak masa kecil, tepatnya saat menjadi Ketua Kelompok Regu Pramuka SD Perguruan Rakyat III pada tahun 1985 dan berlanjut sebagai kordinator dalam berbagai aktivitas hobi bersama kawan-kawannya, seperti sebagai Ketua Persatuan Sepakbola tempat sekolahnya, dan anggota Sekolah Sepakbola PERSIJA JAKARTA tahun 1988.

DUNIA PERGERAKAN POLITIK, dimasukinya saat duduk di bangku kuliah Tahun 1994, dengan ikut dalam perkumpulan serta forum diskusi kecil di kampus dan berlanjut beberapa tahun kemudian menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang memiliki kegiatan diskusi, advokasi dan aksi untuk mengkritisi beragam kebijakan pemerintahan yang menindas rakyat.

KEAKTIFANNYA dalam melawan pemerintahan yang menindas rakyat semakin menjadi-jadi pada saat peristiwa 27 Juli 1996. Kemudian berlanjut saat krisis ekonomi 1997 yang berdampak suhu politik memanas dalam Gerakan Mahasiswa menjelang 1998.
MESKIPUN sejak tahun 1996 sudah aktif berjuang bersama kader-kader PDI Pro Mega, tetapi karena aktivitas pergerakan mahasiswanya, maka baru tahun 2001-2002, Rio fokus aktif di PDI Perjuangan, khususnya usai mengikuti Kongres XIV GMNI di Manado. Pengalamannya berorganisasi saat mahasiswa dalam melakukan pendampingan terhadap warga yang tertindas, membuat Rio tak mengalami hambatan untuk aktif di Partai.

SETELAH 12 TAHUN lebih berjuang bersama-sama kader partai maupun aktivis pergerakan, akhirnya Rio mendapatkan kepercayaan dari Partai menjadi Calon Anggota Legislatif DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi DKI Jakarta, Nomor Urut 5 (lima) di daerah pemilihan Jakarta Timur dalam Pemilihan Legislatif (PEMILU) 2009.

”Dengan dukungan dari segenap warga Jakarta Timur dan dukungan dari berbagai elemen seperti, aktivis, kader partai, tokoh, artis, pengamat, Lurah, Ketua RW, keluarga, sobat, dan warga DKI Jakarta pada umumnya, Menurut saya ini adalah modal awal melakukan perubahan di Jakarta kearah yang lebih baik”.

Thursday, September 25, 2008

Revolusi belum selesai!

Catatan A. Umar Said

17 Agustus : revolusi belum selesai!

Ketika kita semua akan memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang ke 61, patutlah kiranya, kita sama-sama merenungkan, dengan dalam-dalam, berbagai hal yang berkaitan dengan hari yang bersejarah bagi bangsa kita ini. Tulisan kali ini merupakan ajakan kepada para pembaca untuk secara jujur, jernih, terus terang, berani tanpa tedeng aling-aling, mengupas berbagai soal mengenai bangsa, negara dan rakyat kita ini, pada masa yang lalu, masa kini dan masa depan. Karenanya, mohon ma’af terlebih dulu, kalau dalam tulisan kali ini terdapat ungkapan-ungkapan yang kasar, atau yang terlalu “tajam”, dan bisa menyakitkan hati sebagian orang, atau membikin marah sebagian lainnya lagi.


Marilah sama-sama kita lihat - dengan hati yang tulus dan fikiran yang bersih ! - betapa terpuruknya negara, bangsa dan rakyat kita dewasa ini, yang sebagian terbesar sebagai akibat banyaknya kesalahan monumental, dan kerusakan atau pembusukan yang amat parah di berbagai bidang, yang dibikin oleh Orde Barunya Suharto, dan yang diwarisi pemerintahan Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati dan sekarang ini diteruskan oleh pemerintahan Sby-Jusuf Kalla.

Pertama-tama , perlulah hendaknya sama-sama kita ingat bahwa dari umur Republik Indonesia yang 61 tahun ini, lebih dari separuhnya telah dirusak atau dibusukkan oleh rejim militernya diktator Suharto beserta para pendukung setianya. Artinya, selama 32 tahun pimpinan TNI, di bawah Suharto, telah menjerumuskan negara dan rakyat Indonesia ke dalam jurang yang gelap sekali. Jiwa revolusi 45 di bawah pimpinan Bung Karno telah dihancurkan oleh jenderal-jenderal dan kolonel-kolonel di bawah Suharto yang mengkhianati Bung Karno. Jiwa revolusioner perjuangan 45 telah dimatikan oleh persekongkolan pimpinan militer dengan kekuatan nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme), terutama AS, beserta sekutu-sekutunya di dalam negeri.


Kerusakan dan pembusukan oleh pimpinan TNI dan Golkar

Kiranya, setiap orang yang bersih hati nuraninya akan bisa mengakui bahwa sejarah Orde Baru telah menunjukkan dengan jelas bahwa pimpinan TNI-AD dan para tokoh Golkar telah melakukan perusakan-perusakan yang besar sekali dan pembusukan yang sangat parah terhadap kehidupan bangsa dan republik kita. Bukan saja mereka ini telah mengkhianati pemimpin besar rakyat Indonesia, Bung Karno, dan menghancurkan kekuatan pendukungnya yang utama, yaitu golongan kiri yang dimotori oleh PKI, tetapi juga kemudian merusak moral bangsa secara parah sekali. Kerusakan moral sangat parah yang kita lihat dewasa ini di banyak bidang adalah akibat dihancurkannya jiwa revolusioner bangsa dan rakyat kita melalui pengkhianatan terhadap Bung Karno dan kekuatan kiri pendukung utamanya.

Selama lebih dari separuh umur Republik kita yang 61 tahun itu (dan itu adalah jangka waktu yang lama sekali !) pimpinan TNI-AD dan Golkar telah menjadikan negara Republik Indonesia sebagai alat untuk mengkerangkeng rakyat banyak, untuk, memupuk kekayaan dan hidup dalam kemewahan di tengah-tengah penderitaan rakyat karena kesengsaraan dan kemiskinan. Buktinya dapat banyak sekali kita saksikan dewasa ini dari kehidupan yang serba mewah mereka atau kekayaan mereka, sedangkan sebagian terbesar sekali rakyat kita hidup menderita dalam serba kekurangan.

Dengan terus-menerus – dan selama puluhan tahun pula ! - mengibarkan panji-panji anti Sukarno dan anti-PKI, mereka menindas sebagian terbesar rakyat sambil bergandengan tangan erat-erat dengan kekuatan-kekuatan pro-imperialis AS. Demi melindungi kepentingan mereka yang bathil dan haram, dan untuk melindungi persahabatan dan kerjasama dengan fihak imperialisme AS dan kapitalisme internasional ini mereka selalu (sekali lagi, ingat : selama separuh umur Republik kita ! ) bersikap sangat kejam dan biadab terhadap golongan kiri dan pendukung Bung Karno, dan terhadap yang berani menentang politik rejim militer Orde Baru.

Mengingat besarnya kerusakan dan parahnya pembusukan yang sudah dilakukan rejim militer Orde Baru-nya Suharto (artinya : oleh segolongan TNI-AD dan Golkar) yang dilakukan selama lebih dari separuh umur Republik Indonesia, maka patutlah kiranya bagi kita untuk selanjutnya meragukan tentang bisanya ada perbaikan besar-besaran atau perubahan radikal di Republik kita tercinta ini selama TNI (terutama TNI-AD) dan Golkar belum memperbaiki secara total dan radikal kesalahan-kesalahan besarnya di masa lalu yang banyak sekali itu.


Kekosongan kepemimpinan sejak dijatuhkannya Bung Karno

Adalah omong kosong saja (atau, adalah munafik saja !, ) kalau ada orang merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus tetapi sambil tetap bersikap anti-Sukarno dan anti-pendukung utamanya, yaitu PKI. Sebab, pada dasarnya , orang-orang yang anti-Sukarno tidaklah akan bisa sepenuhnya menghayati arti yang sebenarnya Hari Peringatan 17 Agustus 45. Atau bisalah kita katakan, bahwa pada hakekatnya, para pengkhianat terhadap Bung Karno itu juga adalah juga pengkhianat revolusi 45 adanya. Sebab, Bung Karno adalah bukan saja tokoh besar yang punya peran penting dalam proklamasi 17 Agustus, bahkan sudah mencurahkan banyak tenaga dan fikirannya dalam perjuangan menentang kolonialisme Belanda, jauh sekali sebelum 17 Agustus !

Sejarah rejim militer Orde Baru dan empat pemerintahan yang menggantikannya menunjukkan dengan jelas sekali kepada kita semua bahwa sejak dijatuhkannya Bung Karno secara khianat oleh pimpinan TNI-AD yang bersekongkol dengan kekuatan nekolim (terutama AS), maka Republik Indonesia sudah kehilangan panutan politik dan moral revolusioner, yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara kita. Terasalah benar-benar bahwa sejak itu ada kekosongan kepemimpinan yang berwibawa, yang dihormati dan dicintai oleh rakyat banyak. Karenanya, sebagian besar bangsa kita juga menjadi loyo, rusak moralnya, dan seperti bingung kehilangan arah.

Berdasarkan pengalaman selama puluhan tahun yang telah kita lewati bersama, sudah bisalah kiranya kita ambil kesimpulan bahwa Republik kita tercinta ini akan selalu menghadapi banyak persoalan-persoalan yang rumit, masalah-masalah yang parah, dan kesulitan-kesulitan yang besar, selama Golkar dan sisa-sisa rejim militer Orde Baru (antara lain: TNI-AD) masih bisa memainkan peran penting dalam pengurusan negara dan bangsa, seperti sekarang ini.

“Track-record” TNI-AD dan Golkar selama 32 tahun Orde Baru, ditambah kurang-lebih 8 tahun pasca-Suharto, membuktikan dengan gamblang sekali bagi kita bahwa justru TNI-AD dan Golkar-lah yang merupakan sumber utama dari berbagai penyakit berat atau borok parah yang dihadapi negara dan bangsa. Jadi, sama sekali tidak mungkinlah kiranya diharapkan dari mereka perbaikan kerusakan atau penyembuhan penyakit parah bangsa kita. Kalau sudah selama sekitar 40 tahun mereka justru menjadi sumber dari segala penyakit parah bangsa, mana pula bisa kita harapkan bahwa di kemudian hari mereka akan bisa berubah - begitu saja dan dengan mudahnya ! - menjadi pengobatnya.

Kita harus berani melihat dengan jujur - dan juga mengatakan terus-terang ! – bahwa kemerosotan moral dan pembusukan hati nurani di kalangan pimpinan TNI (terutama TNI-AD), dan Golkar beserta para simpatisan Suharto lainnya, sudah sedemikian parahnya dan sudah pula begitu dalamnya, sehingga kita bisa meneriakkan dengan lantang : Republik tercinta kita bersama ini sama sekali tidaklah membutuhkan mereka!!! Sebab, mereka-mereka yang sudah membusuk dengan parah ini malahan menjadi penyakit berbahaya yang terus-menerus merusak tubuh bangsa kita.


Keadaan Negara dan rakyat yang menyedihkan

Padahal, negara dan bangsa kita ini sedang menghadapi puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, persoalan rumit, atau kesulitan besar , atau masalah-masalah yang parah sekali di berbagai bidang. Dalam rangka ini perlu sekalilah selalu sama-sama kita ingat bahwa negara kita ini berpenduduk besar sekali (lebih dari 215 juta). Tetapi, sekitar 65 juta (artinya :seperempat dari seluruh penduduk !) dari rakyat kita hidup dalam kemiskinan. Di antara mereka terdapat kira-kira 40 juta penganggur dan setengah penganggur. Mari sama-sama kita bayangkan betapa banyaknya orang yang tiap harinya menderita berkepanjangan.

Itulah sebabnya, maka kriminalitas menjadi amat tinggi angka-angka di banyak daerah, dan banyak orang menjadi frustasi (termasuk di kalangan muda). Lebih dari 5 juta orang terpaksa jadi TKI atau TKW di berbagai negeri . Memang, menjadi TKI atau TKW di luar negeri bukanlah pekerjaan yang hina, tetapi ini menunjukkan bahwa karena berbagai salah-urus dalam mengatur negara maka di Indonesia mereka sulit mencari hidup. Tidak sedikit di antara rakyat kita yang menjadi pengemis, orang gelandangan, dan pelacur.

Dapatlah diperkirakan bahwa puluhan juta orang dari rakyat kita tiap harinya sulit untuk makan dengan cukup, di samping sulit mendapat pengobatan kalau sakit. Ditambah dengan banyaknya bencana alam yang bertubi-tubi menimpa bangsa kita (banjir, kekeringan, hama wereng, gempa bumi di Jogya, gunung Merapi yang meletus, tsunami di Pengandaran dan di Aceh), maka sebagian besar dari rakyat kita betul-betul terpaksa hidup sengsara. Yang membikin banyak sekali orang marah dan muak adalah bahwa di tengah-tengah puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan yang memedihkan itu, sebagian golongan bangsa kita tega-hati untuk rame-rame melakukan kejahatan korupsi berjamaah secara besar-besaran. Atau, tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk plesir di luarnegeri dengan dalih “studi banding” segala.


Kejahatan korupsi dan kebejatan moral

Yang melakukan kejahatan korupsi jutaan, milyaran, bahkan ratusan milyaran Rupiah ini terdiri dari pejabat-pejabat tinggi negara, menteri, gubernur, bupati, hakim, jaksa, polisi, jenderal dan kolonel, anggota DPR dan DPRD, dari tingkat pusat di Jakarta sampai ke daerah-daerah. Mereka adalah penjahat-penjahat besar yang berkedok pejabat, tokoh partai, intelektual, pemuka agama, dan tokoh terkemuka masyarakat. Melakukan kejahatan korupsi uang publik (kasarnya : maling !) ketika puluhan juta orang menderita kurang makan adalah benar-benar suatu kejahatan yang maha besar.

Dosa kejahatan mereka menjadi berlipat-ganda kalau mengingat bahwa kebanyakan korupsi (sekali lagi : maling atau pencurian uang rakyat ! ) ini justru dilakukan oleh orang-orang yang sudah kaya, bahkan sudah kaya-raya ! Moral rendah atau budi nista-lah yang membikin mereka tanpa segan-segan dan tega-hati berbuat haram dengan merugikan kepentingan orang banyak. Mereka melakukan kejahatan terkutuk semacam ini bukan karena didesak untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup, melainkan karena ketamakan dan keinginan hidup mewah dan senang-senang atas penderitaan orang banyak.

Mereka yang tidak segan-segan atau tega-hati melakukan korupsi besar-besaran ini biasanya juga tidak segan-segan dan tega-hati untuk mempermainkan atau menyalahgunakan hukum, dengan menyuap hakim, jaksa, polisi, dan pejabat-pejabat. Penegakan hukum sering sekali dilumpuhkan oleh para penjahat kaliber kakap yang bisa membeli segala-galanya dengan uang, termasuk apa yang mereka namakan “keadilan” dan “kebenaran”, atau kata-kata muluk lainnya. Fenomena demikian inilah yang dewasa ini sering kita baca atau kita saksikan sendiri, dengan rasa muak dan gregetan. Sebab, kebejatan moral dan pembusukan akhlak ini sudah bisa katakan menyeluruh di “kalangan atas” masyarakat dan pemerintahan. Contoh gamblang dari puncak kerusakan akhlak yang menimpa sebagian besar kalangan atas ini adalah korupsi besar-besaran di Departemen Agama (bahkan Menteri Agama-pun harus diperiksa di pengadilan !).

Pengalaman dari 32 tahun pemerintahan Orde Baru, ditambah dengan 8 tahun berbagai pemerintahan sesudahnya, mengajarkan kepada kita bahwa pimpinan militer type Orde Baru dan jenis tokoh-tokoh Golkar yang masih mempunyai simpati terhadap Suharto bukanlah orang-orang yang bisa diharapkan memiliki sikap benar-benar pro-rakyat dan menjunjung kepentingan negara dan bangsa. Di samping itu, kebanyakan di antara mereka bukanlah pula orang-orang yang benar-benar menghormati demokrasi dan menjunjung tinggi-tinggi hak-hak azasi manusia. Berbagai penderitaan pedih selama 40 tahun yang ditanggung oleh para eks-tapol dan jutaan para korban peristiwa 65 beserta keluarga mereka (sampai sekarang !!!) adalah bukti yang menyolok sekali dari rendahnya kualitas moral para pendukung Orde Baru ini..

Itu semua berarti bahwa dengan orang-orang yang moralnya sudah bejat dan sikap politiknya masih seperti Orde Baru atau rejim militer Suharto, maka kehidupan Republik Indonesia kita akan tetap terus dipenuhi kebusukan moral dan kerusakan akhlak , dan akan terus dihinggapi banyak dan berbagai masalah. Tegasnya, atau jelasnya, dengan orang-orang yang moralnya sebejat tokoh-tokoh rejim militer Suharto, Republik Indonesia kita akan tetap terus dalam keadaan yang serba menyedihkan seperti sekarang ini, walaupun bangsa kita akan merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang ke-100, atau bahkan yang ke-200 kalinya di kemudian hari.


Perubahan besar lewat kekuasaan politik pro-rakyat

Republik kita yang terkasih ini membutuhkan pimpinan orang kuat dan berwibawa, yang sekaliber atau setaraf pemimpin besar Bung Karno, yang betul-betul mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat terbanyak, yang dapat mempersatukan semua golongan dari berbagai suku, golongan etnis, agama, dan aliran politik, yang bisa jadi panutan dalam perjuangan bersama untuk masyarakat adil dan makmur, dan yang bisa benar-benar menjiwai dan melaksanakan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Republik kita tercinta ini tidak bisa dan tidak boleh terus-menerus dikelola orang-orang korup, reaksioner, bermoral rendah, seperti yang terjadi selama 40 tahun yang sudah lewat ini.

Negara yang amat luas dan besar dengan penduduknya yang begitu banyak ini sedang menghadapi banyak sekali masalah-masalah besar di berbagai bidang. Banyak sekali pembusukan atau degenerasi yang sudah terjadi selama 40 tahun harus dihentikan, dan reformasi di segala bidang - yang sedang macet sekarang ini - harus diteruskan dan digalakkan. Banyak sekali hal-hal yang harus dibongkar, dibangun kembali, atau diganti, demi kepentingan rakyat banyak dan demi anak cucu kita di kemudian hari.

Pengalaman rakyat di berbagai negeri di dunia, antara lain di Venezuela, Bolivia dan Kuba, menunjukkan bahwa untuk bisa mengadakan perubahan-perubahan besar demi kepentingan rakyat banyak, haruslah lebih dulu direbut kekuasaan politik, melalui berbagai cara dan jalan, terutama jalan demokratis. Kiranya, kita bisa dan perlu belajar dari perebutan atau perubahan kekuasaan politik di berbagai negeri Amerika Latin yang makin bergeser ke kiri. Juga di Indonesia, perubahan-perubahan besar yang bisa menguntungkan kepentingan rakyat banyak, hanya bisa tercapai kalau kekuasaan politik dipegang oleh orang-orang yang benar-benar pro-rakyat, dan bukannya oleh orang-orang bermoral rendah dan reaksioner sejenis pendukung-pendukung setia Suharto beserta Orde Barunya. Sebab, 40 tahun (artinya dua pertiganya umur Republik kita) sudah menunjukkan dengan jelas siapa-siapa mereka itu semuanya dan bagaimana sepak-terjang mereka. Karena itu, janganlah lagi tertipu oleh mereka, dan hilangkanlah segala ilusi.


Revolusi belum selesai !!!

Jadi, perubahan kekuasaan politik ke arah yang betul-betul mementingkan kepentingan rakyat banyak adalah satu-satunya jalan yang akan bisa mengentaskan Republik kita dari segala bahaya, kesulitan dan penyakit. Kiranya, masalah inilah salah satu di antara berbagai soal penting yang perlu direnungkan bersama dalam memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Dalam rangka ini perlu diingat pula bahwa untuk menuju ke perubahan kekuasaan politik yang benar-benar pro-rakyat itu kita bersama harus berusaha meneruskan apa-apa yang sudah diperjuangkan oleh Bung Karno. Singkat-padatnya, seperti yang sering dikatakan Bung Karno : revolusi belum selesai !!!

Paris, 11 Agustus 2006

0 comments: