Oleh Andang Subaharianto
Bangsa Indonesia mengenang 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Bung Karno mengemukakan lima esensi nilai yang disebut Pancasila. Kelima esensi nilai itu kemudian disepakati sebagai dasar negara oleh ”pendiri republik”, yang beragam latar belakang etnis, budaya, agama, dan aliran politik.
Kenyataan bahwa Pancasila diterima oleh para ”pendiri republik” menunjukkan Pancasila tersusun bukan dalam ruang hampa. Pancasila tersusun melalui pergumulan yang intens antara teori dan praktik, antara kekuatan ilmu pengetahuan/intelektualitas dan kekayaan pengalaman para ”pendiri republik” dalam rentang sejarah kolonialisme Indonesia. Karena itu, Pancasila sekaligus merefleksikan ”suasana batin” rakyat Indonesia.
Namun, mengapa hingga sekarang Pancasila seperti jauh tak menyentuh kehidupan nyata. Bukankah Pancasila belum ditarik sebagai dasar negara? Apakah bangsa ini telah lupa dasar negaranya, atau mungkin tak paham bagaimana menegakkannya?
Sistem nilai
Menempatkan Pancasila sebagai dasar negara berarti menggunakan Pancasila sebagai sistem nilai yang menuntun kehidupan bernegara. Sebagai sistem nilai, Pancasila mengandung aspek kognitif, implementatif, dan evaluatif.
Dari aspek kognitif, Pancasila seharusnya bisa ditransformasikan menjadi sistem pengetahuan yang akan menentukan pandangan dunia kita sebagai bangsa Indonesia. Dari sinilah kita melihat realitas kehidupan: sejarah, manusia, dan dunia, secara khas. Dengan sistem pengetahuan itu kita melihat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan rakyat Indonesia di tengah realitas kapitalisme global dewasa ini. Dengan sistem pengetahuan itu pula kita melihat bahwa dinamika kapital akan melindas yang lemah bila tidak dikendalikan. Dengan sistem pengetahuan itulah kita membaca pluralisme masyarakat Indonesia sehingga pluralisme itu harus diterima, dijaga, dan dikelola untuk kepentingan bersama. Kekerasan yang terjadi pada peringatan Hari Kelahiran Pancasila di lapangan Monas, Jakarta, kemarin, menunjukkan sebagian masyarakat kita belum menerima pluralisme, sementara aparat pemerintah, yaitu polisi, gagal menjaga dan mengelola ekspresi pluralisme itu.
Selanjutnya, dari aspek implementatif, akan diperoleh sistem sosial yang mengatur hubungan-hubungan sosial. Pada aras ini sistem pengetahuan tadi muncul dalam bentuk lembaga-lembaga, aturan-aturan, kebijakan-kebijakan, perilaku, dan simbol-simbol yang lain. Jika sistem pengetahuan kita mengajarkan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, seharusnya juga diikuti aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang melindungi kepentingan rakyat. Jika sistem pengetahuan kita mengajarkan pelembagaan usaha kecil menengah untuk mendorong ekonomi rakyat, seharusnya juga muncul regulasi yang menyelamatkan usaha kecil menengah dari ekspansi usaha besar. Aspek implementatif ini akan tampak dari penyelenggaraan negara.
Kemudian, dari aspek evaluatif, sistem pengetahuan tersebut ditransformasikan menjadi nilai-nilai, baik etik maupun estetik. Pada tingkat ini Pancasila dapat diposisikan sebagai kritik ideologi. Setiap konsep pembangunan tentu memuat asumsi ideologis mengingat setiap konsep didasari suatu pandangan tentang sejarah, manusia, dan dunia. Di samping itu, praktik pembangunan sering mengalami ”ideologisasi”, yang pada gilirannya akan memperkuat struktur yang terbentuk atau memperkuat kepentingan kelompok tertentu. Ideologisasi pembangunan terjadi apabila pembangunan itu dapat diperalat oleh kelompok tertentu untuk membenarkan kepentingannya. Dengan aspek evaluatif ini, seharusnya Pancasila selalu ditampilkan sebagai kritik atas praktik berbangsa-bernegara selama ini.
Tanggung jawab negara
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara jelas menuntut negara untuk menegakkannya. Negara wajib menjalankannya. Barangkali karena itu pula Pancasila mudah mengalami ”politisasi” oleh rezim.
”Politisasi” itu terasa sekali pada zaman rezim Orde Baru. Pancasila hanya dihadirkan secara sloganistik dan mitologis: diucapkan dalam setiap upacara bendera, ditulis dan dipajang di berbagai tempat, dan dibendakan bak benda keramat. Pancasila diambil alih oleh rezim dan ditafsirkan secara monolitik untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. Seolah-olah rezim penguasalah yang berhak memiliki tafsir. Pancasila tidak diterjemahkan ke dalam sistem pengetahuan untuk mendasari keputusan/kebijakan, juga tidak digunakan menjadi kritik atas praktik bernegara. Sebaliknya, Pancasila diindoktrinasikan seolah-olah keputusan/kebijakan yang diambil rezim merupakan pengamalan Pancasila. Maka, dengan mudah Pancasila menjadi alat pemukul bagi siapa pun yang dianggap berlawanan dengan kehendak rezim penguasa.
Karena itu, ketika rezim Orde Baru terguling, Pancasila pun seolah-olah ikut bersalah. Harus diakui, dalam era reformasi selama ini, reproduksi kata Pancasila berbanding terbalik dengan zaman Orde Baru. Kata Pancasila nyaris tidak muncul dalam wacana politik kenegaraan.
Menegakkan Pancasila jelas- jelas tanggung jawab negara. Implementasi Pancasila sebagai dasar negara adalah urusan negara dan bukan urusan rakyat. Ketika Pancasila ditafsirkan rezim Orde Baru melalui P4, pada saat yang sama terjadi situasi reduksionistik: Pancasila semata-mata sebagai etika personal warga negara. Padahal, jelas Pancasila adalah urusan negara melalui kebijakan-kebijakan negara dalam berbagai bidang kehidupan.
Dari kebijakan-kebijakan itu akan jelas apakah Pancasila berfungsi sebagai dasar negara ataukah kata-kata mutiara yang tanpa makna; akan jelas apakah orientasi politik rezim pemerintahan yang sedang berjalan dituntun Pancasila ataukah kepentingan ideologis lain.
ANDANG SUBAHARIANTO Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember
0 comments:
Post a Comment